RI News Portal. Kabupaten Semarang 26 Oktober 2025 – Ketua Umum Justice Enforcement Agencies (Lembaga Penegak Keadilan), Setiawan Wibisono, S.TH, menyoroti dugaan penistaan agama yang terjadi di salah satu lokasi hiburan malam di Bandungan, Kabupaten Semarang. Peristiwa ini diduga melibatkan Ibo, pemilik klub karaoke Paradise, dan menjadi sorotan karena berpotensi memperburuk citra kawasan wisata malam yang sudah dikenal sebagai “zona abu-abu” dengan maraknya aktivitas sosial yang melanggar norma.
Dari perspektif hukum, dugaan penistaan agama ini diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.”
Pasal ini merupakan ringkasan dari Ketetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang lahir di tengah kekhawatiran terhadap aliran sesat yang mengancam persatuan nasional pada era Orde Lama. Namun, penafsiran unsur-unsurnya—seperti “permusuhan” atau “penodaan”—sering multitafsir dan subjektif, mengundang kritik dari perspektif hak asasi manusia karena berpotensi menekan kebebasan berpendapat. Dalam praktik peradilan, pasal ini bersifat alternatif, di mana pembuktian harus menunjukkan niat sengaja dan dampak nyata terhadap kerukunan umat beragama, dengan sanksi yang bisa mencapai enam tahun jika dilakukan melalui media elektronik.

Menurut Setiawan, jika tuduhan ini terbukti, maka ini merupakan “kesalahan fatal” yang dapat memperdalam stigma negatif terhadap Bandungan sebagai destinasi wisata malam. Ia menegaskan bahwa kawasan ini telah lama dikenal sebagai pusat aktivitas yang rawan terhadap kejahatan sosial, termasuk transaksi yang melibatkan klub karaoke dan hotel sebagai tempat singgahan. “Bandungan sudah memiliki trademark minor. Jika kasus ini tidak segera ditangani, reputasinya akan semakin terpuruk,” ujarnya.
Efek sosial dari kasus semacam ini sering kali meluas, memicu gejolak yang mengancam harmoni antarumat beragama. Sejarah kasus penistaan agama di Indonesia menunjukkan pola berulang: mulai dari demonstrasi massa yang menekan aparat hukum, hingga polarisasi masyarakat yang merembet ke ranah nasional.
Setiawan mendesak pemerintah daerah Kabupaten Semarang untuk meningkatkan pengawasan terhadap peraturan dan perizinan tempat hiburan malam. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas namun netral dalam menangani isu sensitif seperti penistaan agama. “Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus bersikap imparsial agar isu ini tidak meluas menjadi konsumsi nasional yang memicu gejolak sosial,” tambahnya.
Baca juga : Dugaan Penistaan Agama di Bandungan Semarang Picu Keresahan, PBNU dan GP Ansor Kawal Proses Hukum
Lebih lanjut, Justice Enforcement Agencies berkomitmen untuk terus memantau perkembangan kasus ini hingga tuntas. Lembaga ini juga berencana mengambil peran proaktif dengan memberikan pencerahan sosial kepada masyarakat di kawasan wisata Bandungan. Upaya ini bertujuan untuk mencegah provokasi dan mengedepankan nilai-nilai positif di tengah situasi yang berpotensi memecah belah. “Kami akan mengawal kasus ini dan memastikan masyarakat tidak terjebak dalam polarisasi,” tegas Setiawan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan destinasi wisata malam memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk interpretasi hukum yang lebih jelas untuk menghindari penyalahgunaan pasal pidana. Tanpa langkah konkret, kawasan seperti Bandungan berisiko terus terjebak dalam lingkaran permasalahan sosial yang merugikan citra daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pewarta : Miftahkul Ma’na

