
RI News Portal. Kebumen – Dalam lanskap konflik tanah yang terus menjadi isu endemik di Indonesia, kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah milik Sutaja Mangsur, seorang lansia berusia 70 tahun dari Dukuh Kragapitan, Desa Seliling, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, menyoroti bagaimana posisi politik dapat dimanfaatkan untuk mengakuisisi aset masyarakat rentan. Pada 21 Agustus 2025, Sutaja Mangsur bersama tim penasihat hukumnya menggelar konferensi pers untuk mengumumkan penetapan seorang oknum anggota DPRD Kebumen berinisial KH sebagai tersangka, berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor B/372/VIII/RES.1.11./2025/Satreskrim yang dikeluarkan oleh Satreskrim Polres Kebumen pada 20 Agustus 2025. Penetapan ini didasarkan pada bukti permulaan yang cukup setelah penyidikan panjang, termasuk pemeriksaan saksi dan analisis dokumen yang mengindikasikan pemindahan kepemilikan tanah seluas 5.265 meter persegi tanpa persetujuan sah dari pemilik asli.

Kasus ini berawal dari akhir 2021, ketika Sutaja Mangsur, seorang petani miskin yang mengandalkan tanah sebagai satu-satunya sumber penghidupan, didekati oleh perantara yang menjanjikan transaksi jual beli dengan KH, anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan yang terpilih kembali pada 2024. Awalnya, Sutaja hanya diminta meminjamkan sertifikat tanah untuk verifikasi, dengan iming-iming pembayaran Rp240 juta. Namun, sertifikat tersebut diproses melalui notaris dan BPN Kebumen, mengubah kepemilikan menjadi atas nama KH tanpa pengetahuan korban. Pembayaran yang diterima hanya Rp130 juta secara bertahap hingga September 2023, yang kemudian menjadi barang bukti dalam laporan polisi.
Proses ini mencerminkan pola eksploitasi agraria yang umum di daerah pedesaan, di mana lansia miskin sering menjadi korban karena keterbatasan akses terhadap informasi hukum. Data dari Komnas HAM menunjukkan peningkatan 20% kasus konflik tanah di Jawa Tengah sejak 2022, dengan mayoritas melibatkan manipulasi dokumen oleh pihak berkuasa. Sutaja Mangsur, yang hidup di bawah garis kemiskinan, sempat mengalami intimidasi untuk mencabut laporan, meskipun telah mengajukan perlindungan ke LPSK pada Maret 2025.
Baca juga : Sinergi Forkopimda Wonogiri: Langkah Strategis Menjaga Stabilitas Kamtibmas di Tengah Dinamika Sosial
Laporan awal diajukan ke Polda Jawa Tengah pada Maret 2024 (Nomor B/3693/III/RES.7.4/2024/DITRESKRIMUM), kemudian dilimpahkan ke Polres Kebumen untuk penyidikan atas Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 372 KUHP (penggelapan). Penyidikan melibatkan konfrontasi dengan notaris, pegawai BPN, dan saksi seperti kepala desa, yang mengonfirmasi dugaan pemalsuan akta hibah. Tim hukum Sutaja, termasuk Aksin dari Aksin Law Firm, menyatakan apresiasi terhadap kemajuan polisi dan berkomitmen memantau hingga pengadilan untuk mengembalikan tanah kepada korban. Sebelum penetapan, Sutaja bahkan menyurati Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Juli 2024, mendesak sanksi partai terhadap KH atas pelanggaran etik.
Dari sudut pandang akademis, kasus ini mengilustrasikan konsep “capture of state resources” dalam studi korupsi, di mana elit lokal memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, memperburuk ketimpangan sosial. Penelitian dari Universitas Indonesia tentang korupsi daerah menunjukkan bahwa 65% kasus serupa melibatkan pejabat legislatif, dengan korban utama adalah kelompok marjinal seperti lansia.
Penetapan KH sebagai tersangka, yang juga terlibat dalam kasus hutang lain, menjadi sinyal positif bagi penegakan hukum di tingkat lokal, meskipun proses berlarut dua tahun menunjukkan tantangan birokrasi. Namun, ini juga menekankan kebutuhan reformasi, seperti digitalisasi sertifikat tanah melalui blockchain untuk mencegah pemalsuan, serta penguatan klinik hukum gratis di desa-desa. Data BPS 2025 mengindikasikan bahwa 45% lansia pedesaan di Jawa Tengah rentan terhadap eksploitasi aset, menuntut intervensi kebijakan multi-level.
Kasus Sutaja Mangsur bukan hanya pertarungan individu, melainkan cerminan sistemik ketidakadilan agraria yang mengancam stabilitas sosial. Seperti yang diungkapkan Aksin, “Ini soal keadilan bagi warga kecil melawan kekuasaan.” Tanpa perubahan struktural, pola ini akan berulang, melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Pewarta : Dimas
