
Jakarta, 1 September 2025 – Di tengah gelombang aksi penyampaian pendapat yang melanda beberapa wilayah Indonesia, Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menyuarakan keprihatinan mendalam atas dampaknya terhadap situs-situs bersejarah. Insiden yang terjadi pada Sabtu (30 Agustus 2025) tidak hanya merusak properti publik, tetapi juga mengancam memori kolektif bangsa melalui vandalisme terhadap museum dan cagar budaya. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan bahwa museum bukan sekadar gudang artefak, melainkan ruang hidup yang menyimpan narasi peradaban.
Dalam keterangan persnya pada Senin (1 September 2025), Fadli Zon menyatakan, “Kementerian Kebudayaan sangat menyesalkan insiden yang terjadi. Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta pengelola museum untuk memastikan keamanan dan perlindungan koleksi.” Pernyataan ini datang sebagai respons atas kerusakan yang menimpa Museum Bagawanta Bari Kediri, sebuah lembaga yang menyimpan kekayaan arkeologi dari era kerajaan kuno di Jawa Timur.
Museum Daerah Bhagawanta Bhari, yang lebih dikenal sebagai Museum Bagawanta Bari Kediri, berdiri sebagai penjaga warisan budaya Kabupaten Kediri sejak era pasca-kemerdekaan.Koleksinya mencakup artefak dari periode Hindu-Buddha, termasuk prasasti dan patung yang mencerminkan nilai-nilai lokal seperti yang tertuang dalam Prasasti Harinjing dan Ceker, yang menekankan harmoni sosial dan spiritual masyarakat Kediri kuno. Namun, insiden akhir pekan lalu telah merusak integritas museum ini secara signifikan.

Menurut laporan awal, sejumlah koleksi penting hilang akibat penjarahan, di antaranya Kepala Ganesha – simbol kebijaksanaan dalam mitologi Hindu – serta Koleksi Wastra (kain tradisional) dan buku-buku lama yang mendokumentasikan sejarah lokal. Koleksi miniatur lumbung, yang merepresentasikan sistem pertanian tradisional Jawa, mengalami kerusakan parah. Beruntung, beberapa item krusial seperti arca Bodhisatwa dan bata berinskripsi mantra berhasil diselamatkan oleh tim Juru Pelihara Kemenbud.
Fadli Zon menghimbau pelaku penjarahan untuk mengembalikan barang-barang tersebut ke Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI atau langsung ke museum. “Saya menghimbau kepada pihak yang telah mengambil beberapa koleksi penting tersebut untuk segera bisa mengembalikan,” ujarnya. Kemenbud berjanji untuk memantau pemulihan agar museum dapat kembali berfungsi sebagai pusat pembelajaran, wisata budaya, dan pelestarian.
Dari perspektif akademis, kehilangan ini bukan hanya material, tetapi juga erosi terhadap identitas lokal. Studi tentang nilai-nilai kearifan Kediri menunjukkan bahwa artefak semacam ini adalah sumber primer untuk memahami evolusi budaya Jawa, di mana harmoni antara manusia dan alam menjadi fondasi peradaban. Hilangnya koleksi ini bisa menghambat penelitian masa depan, mengingat Indonesia memiliki tantangan dalam dokumentasi digital warisan budaya.
Baca juga : Komisi I DPR Gelar Rapat Kerja Tertutup dengan Wamenhan dan Wakil Panglima TNI
Insiden tidak terbatas pada Kediri. Di Surabaya, Gedung Grahadi – sebuah ikon arsitektur kolonial yang dibangun pada 1795 oleh Residen Dirk van Hogendorp – mengalami kebakaran di sisi barat depan. Gedung ini, yang kini berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur, awalnya menghadap sungai Kalimas dan menjadi saksi perdagangan maritim era Belanda. Dengan gaya arsitektur klasik Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis, Grahadi mewakili perpaduan budaya Indo-Eropa yang unik di Jawa Timur.
Sementara itu, di Bandung, Gedung Cagar Budaya tingkat kota di Jalan Diponegoro No. 20 juga terdampak. Bangunan ini, didirikan sekitar 1920-an dengan gaya Indische Empire, pernah menjadi rumah dinas Wakil Gubernur Jawa Barat hingga awal 2000-an sebelum menjadi aset MPR RI. Arsitekturnya mencerminkan era kolonial Belanda, di mana elemen empire digabungkan dengan adaptasi lokal untuk hunian pejabat. Kerusakan ini menambah daftar panjang cagar budaya yang rentan terhadap konflik sosial.
Insiden tidak terbatas pada Kediri. Di Surabaya, Gedung Grahadi – sebuah ikon arsitektur kolonial yang dibangun pada 1795 oleh Residen Dirk van Hogendorp – mengalami kebakaran di sisi barat depan. Gedung ini, yang kini berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur, awalnya menghadap sungai Kalimas dan menjadi saksi perdagangan maritim era Belanda. Dengan gaya arsitektur klasik Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis, Grahadi mewakili perpaduan budaya Indo-Eropa yang unik di Jawa Timur.
Sementara itu, di Bandung, Gedung Cagar Budaya tingkat kota di Jalan Diponegoro No. 20 juga terdampak. Bangunan ini, didirikan sekitar 1920-an dengan gaya Indische Empire, pernah menjadi rumah dinas Wakil Gubernur Jawa Barat hingga awal 2000-an sebelum menjadi aset MPR RI. Arsitekturnya mencerminkan era kolonial Belanda, di mana elemen empire digabungkan dengan adaptasi lokal untuk hunian pejabat. Kerusakan ini menambah daftar panjang cagar budaya yang rentan terhadap konflik sosial.
Dalam konteks lebih luas, insiden ini menggarisbawahi krisis pelestarian warisan budaya di Indonesia, negara dengan keragaman etnis dan situs UNESCO yang kaya. Pelestarian bukan sekadar tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif untuk mempertahankan identitas nasional di tengah globalisasi. Menurut kerangka tata kelola budaya, tantangan utama mencakup kurangnya kesadaran masyarakat, urbanisasi cepat, dan konflik sosial yang seringkali mengabaikan nilai historis.

Pemerintah Indonesia telah menjadikan pelestarian sebagai prioritas pada 2025, dengan fokus pada penguatan undang-undang dan keterlibatan pemuda melalui inisiatif seperti Hari Warisan Dunia UNESCO. Namun, kasus seperti ini menunjukkan perlunya pendekatan holistik, termasuk edukasi digital dan kolaborasi internasional untuk mendokumentasikan manuskrip dan artefak sebelum hilang selamanya. Seperti yang ditegaskan Fadli Zon, “Mari kita jaga museum dan cagar budaya di tempat kita masing-masing karena ini merupakan simbol kemajuan peradaban bangsa.”
Kemenbud berjanji untuk mempercepat pemulihan, tetapi insiden ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya adalah aset tak tergantikan. Di era digital, media online seperti ini bisa menjadi platform untuk mendiskusikan solusi, dari petisi virtual hingga tur virtual museum, guna membangun kesadaran yang lebih inklusif dan mendalam daripada liputan sensasional biasa.
Pewarta : Albertus Parikesit
