
RI News Portal. Padang Lawas, Sumatera Utara — Peristiwa memilukan terjadi di Desa Sibuhuan Jae, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, ketika seorang bocah perempuan berusia 10 tahun menjadi korban kekerasan ekstrem yang diduga dilakukan oleh pemilik warung setempat dan dua anaknya. Bocah tersebut dituduh mencuri jajanan, lalu diikat, dipukul, dan disundut dengan api rokok oleh Leman Nasution alias Sulaiman, bersama dua anaknya, Diris dan Masito, pada dini hari 26 Juni 2025.
Korban disiksa secara fisik dan psikis di hadapan warga desa yang disebut tidak melakukan intervensi.
Tangan dan kaki korban diikat, tubuhnya disundut api rokok, dan ia mengalami trauma berat.
Ayah korban, Damhuri Hasibuan, melaporkan kejadian ini ke Polres Padang Lawas pada 27 Juni 2025, dengan STTLP Nomor B/193/VI/2025. Namun, hanya satu nama—Leman Nasution—yang tercantum sebagai terlapor awal.

Damhuri menyatakan bahwa polisi membuka kemungkinan pengembangan kasus terhadap pelaku lain.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis. Pasal 76C UU tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Namun, dalam praktiknya, kasus ini justru menunjukkan kecenderungan penyelesaian secara informal melalui mediasi, yang berisiko mengabaikan hak-hak korban dan prinsip keadilan restoratif yang seharusnya berpihak pada anak.
Kuasa hukum keluarga korban, Sutan Harahap, mengungkap bahwa Polres sempat memfasilitasi mediasi antara pihak korban dan pelaku, yang juga dihadiri Kepala Desa. Namun, mediasi tersebut gagal karena:
Kuasa hukum keluarga korban, Sutan Harahap, mengungkap bahwa Polres sempat memfasilitasi mediasi antara pihak korban dan pelaku, yang juga dihadiri Kepala Desa. Namun, mediasi tersebut gagal karena:
Baca juga : Menuju Lembaga Adat Betawi: Implementasi Amanah UU No. 2 Tahun 2024 dalam Transformasi Jakarta
Kuasa hukum keluarga korban, Sutan Harahap, mengungkap bahwa Polres sempat memfasilitasi mediasi antara pihak korban dan pelaku, yang juga dihadiri Kepala Desa. Namun, mediasi tersebut gagal karena:
- Keluarga korban menuntut kompensasi Rp40 juta atas trauma fisik dan psikis.
- Pihak pelaku justru menuduh korban mencuri dan meminta denda Rp15 juta.
- Pelaku hanya bersedia membayar Rp7 juta untuk damai, sebuah tawaran yang dinilai tidak logis dan tidak mencerminkan tanggung jawab hukum.
Korban tinggal bersama ayahnya di rumah orang tua Damhuri, sementara sang ibu telah menikah lagi dan tinggal di kecamatan lain. Damhuri bekerja sebagai pencari kayu bakar dan jarang berada di rumah, menjadikan kondisi keluarga rentan terhadap pengabaian dan kekerasan.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural dan lemahnya sistem perlindungan sosial dapat memperbesar risiko kekerasan terhadap anak, terutama di wilayah pedesaan yang minim pengawasan dan edukasi hukum.
Kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik terhadap seorang anak, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam menegakkan hukum dan melindungi kelompok rentan. Ketika mediasi menjadi jalan pintas yang mengabaikan hak anak, maka negara dan aparat penegak hukum perlu dievaluasi secara kritis.
Seruan kepada aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat sipil:
- Segera tuntaskan proses hukum secara transparan dan adil.
- Libatkan psikolog anak dan pendamping hukum dalam proses pemulihan korban.
- Hentikan praktik mediasi yang merugikan korban dan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak.
Pewarta : Indra Saputra
