
RI News Portal. Padangsidimpuan, 25 Agustus 2025 – Di tengah maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, sebuah kejadian tragis kembali terungkap di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Seorang pria berinisial MAH (36), warga Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Padangsidimpuan melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Pelaku diduga mencabuli seorang anak perempuan berusia 9 tahun, yang masih duduk di kelas 4 sekolah dasar, selama dua tahun terakhir. Korban, yang merupakan tetangga pelaku, menjadi sasaran tindakan bejat ini secara berulang, disertai ancaman agar tidak mengungkapkannya kepada siapa pun.
Kasus ini terbongkar setelah keluarga korban mencurigai perubahan perilaku anak tersebut, seperti sering membuka celana saat di rumah. Setelah pendekatan lembut, korban akhirnya mengaku telah menjadi korban pencabulan. Keluarga segera melaporkan kejadian ini ke Mapolres Padangsidimpuan pada Kamis, 21 Agustus 2025. Emosi warga sempat memuncak saat melihat pelaku di lingkungan sekitar, nyaris memicu aksi main hakim sendiri, sebelum polisi mengamankan MAH.
Kasat Reskrim Polres Padangsidimpuan, AKP H. Naibaho, menyatakan bahwa penyelidikan telah mengumpulkan bukti kuat, termasuk keterangan saksi dan hasil visum et repertum. “MAH telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 81 subsider Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Saat ini, tersangka dititipkan di rumah tahanan Mapolres Padangsidimpuan,” ujar Naibaho. Penyidik masih mendalami kemungkinan adanya korban lain, mengingat pola perilaku pelaku yang berlangsung lama.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pasal 81 mengatur hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun untuk persetubuhan dengan anak di bawah umur, sementara Pasal 82 menyasar perbuatan cabul lainnya dengan ancaman serupa, termasuk denda hingga Rp5 miliar. Regulasi ini bertujuan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari kekerasan, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Namun, implementasinya sering kali dihadapkan pada tantangan, seperti keterlambatan pelaporan akibat ancaman pelaku atau stigma sosial.
Dalam perspektif akademis, kasus seperti ini menyoroti kegagalan sistem perlindungan komunitas, di mana pelaku sering kali adalah orang terdekat seperti tetangga atau keluarga. Analisis hukum menunjukkan bahwa subsider Pasal 82 diterapkan ketika bukti persetubuhan tidak mencukupi, tetapi tetap memastikan akuntabilitas pelaku.
Kasus ini tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga dampak psikologis mendalam bagi korban. Anak usia 9 tahun yang mengalami pencabulan berulang cenderung mengalami trauma jangka panjang, termasuk depresi, kecemasan, gangguan emosional, dan penurunan harga diri. Efek lain meliputi isolasi sosial, perasaan bersalah, dan risiko gangguan perkembangan otak serta sistem saraf. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa korban sering mengalami stres kronis, melankolis, dan kesulitan berinteraksi, yang dapat berlanjut hingga dewasa jika tidak ditangani secara profesional.
Baca juga : Universitas Udayana Resmi Lantik Empat Wakil Rektor Baru, Siap Menuju PTN-BH
Pihak keluarga korban menyatakan keprihatinan atas trauma mental dan psikologis yang dialami anak mereka. “Kami berharap kasus ini diproses tuntas agar korban bisa pulih dan pelaku mendapat hukuman setimpal,” kata seorang anggota keluarga. Pendekatan terapeutik, seperti konseling trauma-informed, menjadi krusial untuk membantu korban membangun kembali rasa aman dan jati diri.
Kasus di Padangsidimpuan ini mencerminkan tren nasional yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga Juni 2025, tercatat sekitar 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan lebih dari 12.000 korban, di mana kekerasan seksual mendominasi. Pada 2024, angka kekerasan anak mencapai 28.831 kasus, dengan mayoritas korban perempuan. Di Sumatera Utara sendiri, kasus serupa sering dilaporkan, termasuk pencabulan oleh tetangga atau kerabat, menunjukkan perlunya penguatan edukasi komunitas dan pengawasan lingkungan.
Akademisi bidang kriminologi menekankan bahwa faktor seperti kemiskinan, kurangnya kesadaran hukum, dan akses terbatas ke layanan psikologis memperburuk situasi. “Kekerasan seksual anak bukan hanya masalah individu, tapi kegagalan sistemik yang memerlukan intervensi multidisiplin,” kata seorang pakar dari Universitas Indonesia dalam studi terkait.
Penyidik Satreskrim Polres Padangsidimpuan terus mendalami kasus untuk mengungkap potensi korban lain, mengingat durasi kejahatan yang mencapai dua tahun. Masyarakat diimbau melaporkan kecurigaan serupa melalui hotline PPA atau lembaga terkait. Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk memperkuat jaringan perlindungan anak, mulai dari keluarga hingga institusi negara.
Artikel ini disusun berdasarkan laporan resmi polisi dan data pendukung, dengan tujuan memberikan perspektif mendalam untuk mendorong kesadaran publik. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Polres Padangsidimpuan atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pewarta : Indra Saputra
