
Jawa Timur, ||www.rinews.id||
A. Jejak Sejarah Tradisi “Siwaratri”
Siwasatri sebagai tradisi budaya di Nusantara, khususnya pada kalangan umat Hindu, didapati lintas masa. Paling tidak, sebagai kisah telah hadir pada masa Majapahit, terbukti oleh adanya susastra kakawin “Siwaratrikalpa” atau disebut juga dengan “Lupaka”, yang disurat oleh rakawi (penulis kakawin) Pu Tanakung pada abad XV Mesehi. Susastra berbahasa Jawa Tengahan ini pernah ditelaah oleh A.Teeuw dan Th.P. Galestin, S.O. Robson, P.J. Worsley, P.J. Zoetmulder pada tahun 1969 dalam buku betjudul “Siwaratrikalpa of mpu Tanakung” terbitan The Hague: Martinus Nijhoff.
Sebagai tradisi keagamaan, upacara “Siwaratri’ kedapatan berlangsung hingga kini di kalangan umat Hindu. Ritus Siwaratri merupakan upacara tahunan (periodik) yang diselenggarakan setiap malam ke-13/hari ke-14 di bulan Magha dalam penanggalan Hindu, atau diistilahi dengan pada hari Panglong Ping Pat Belas, sehari sebelum Tilem sasih kepitu”. Malam Siwaratri adalah “malam tetgelap” dalam kurun waktu setahun. Pada saat itu beryogalah Hyang Siwa Mahadewa untuk berikan pengampunan kepada semua umatnya yang sujud bakti melaksanakan dharma di Bumi.
Menilik bukti bahwa tradisi Siwaratri menyerah di Nusantara, sebagaimana telah ditunjukkan oleh adanya teks susastra “Kakawin Siwaratrikalpa” dan praktek ritualnya hingga kini, pertanyaannya adalah “adalah bukti visual dalam bentuk relief candi” yang menguatkan bukti keberadaan ritus Siwaratri di Masa Majapahit?”. Selama ini belum ada pendapat yang menyatakan adanya relief di satu atau lebih candi-candi di Jawa, khususnya di Jawa pada Masa Majapahit, yang mempunyai pahatan relief cerita Siwaratrikalpa (Lubdaka). Pendapat itu belumlah final, artinya perlu lebih ditelisik lagi kemungkinan adanya jejak tertinggal berupa relief yang memuat cerita “Siwaratrikalpa (Lubdaka)”.

B. Fragmen Relief Siwaratrikalpa
1 Fragmen Relief Koleksi Museum Wajakensi
Petunjuk mengenai adanya jejak visual cerita “Siwaratrikalpa” dalam bentuk relief candi ada indikasi didapati di Museum Wajakensis, yakni Museum Daerah di Tulungagung. Pada ruang museum yang tidak cukup luas di museum itu terdapat sebuah fitrin, yang di dalam salah satu raknya terdapat sebuah fragmen relief berbahan batu kapur (lime stone) dengan ukuran relatif kecil. Tidak ada tulisan penjelas mengenai dari mana dan kapan relief ini diketemukan, terlebih relief cerita apa yang dipahatkan itu. Oleh sebab itu, pada tulisan ini akan dicoba jelaskan apa yang ada dibalik artefak koleksi museum yang “misterius” Ini.
Ada kemungkinan, lokasi asalnya dari sekitar 100 meter sebelah selatan Candi Sanggrahan. Yang diketemukan bersamaan dengan dua buah umpak (pelandas tiang) kecil berbahan batu kapur bertahatkan relief — kini koleksi Museum Trowulan (PIM = Pusat Informasi Majapahit) tatkala penggalian parit ssi utara jalan kampung di Desa Sanggahan. Penulis tidak ingat persis tahun penemuannya, namun berada pada paro kedua dasawarsa 1990-an. Sayang sekali kala itu dan waktu – waktu sesudahnya masih belum dijumpai temuan lain yang dapat lebih perjelas artefak yang telah didapat itu. Bahan batu kapur dari balik batu terpahat ini sangatlah mungkin adalah materi an lokal, mengingat lokasi temuan berada di lembah sisi utara Pegunungan Kapur (Kendeng) Selatan Tulungagung — acap dinamai dengan “perbukitan Walikukun”.
Fragmen relief ini menggambarkan seorang pria tengah berada di suatu percabang pohon tinggi. Kakinya didapatkan di celah perjuangan batang, sementara kedua tangannya berpegang krpada cabang yang berada di depannya Ada indikasi bahwa tubuhnya dibaluti kain untuk melindungi hawa dingin, yang mungkin adalah hawa dingin malam hari. Tokoh peran tetsebut terlihat masih terjaga alias belum tidur. Pohon besarb dimana ia bertengger untuk tidur digambarkan lengkap dengan batamg, cabang, ranting dan dedaunan. Pada bagian kanan di bawah pohon terdapat pestal bertingkat yang mengecil ke arah atas. Pada kemuncaknya ditempatkan suatu pahatan figuratif, yang berbentuk leher hingga kepala kuda. Jelas bahwa relief ini memuat suatu kisah, sehingga bisa dibilang sebagai ” relief cerita”. Jika benar demikian, maka cerita apa yang dipahatkan? Ada kemungkinan memvisualkan relief cerita “Siwaratrikalpa” alias “Lubdaka”
2 Pokok Kisah “Siwaratrikakpa (Lubdaka)”
Syahdan tersebutlah seorang pemburu bernama “Lubdaka” yang tengah berburu di lebatl hutan. Pemburu dan pemangsa binatang tangkapan adalah penyandang dosa. Kala itu, meski telah sekian lama mencari hewan buruan, namun tak kunjung temui. Padahal, hari kian memasuki malam. Agar tidak diterkam lantas dimangsa binatang buas, ia pun memanjat pohon bilwa yang tumbuh di tepi telaga. Lubdaka bertengger di percabangan batangnya yang besar, supaya tak terjatuh manakala tertidur.
Untuk mengusir rasa kantuknya, ia iseng petik helai demi helai daun untuk dijatuhkannya ke bawah. Bersamaan itu, Lubdaka teringat hari-T hari lalunya yang penuh dosa sebagai seorang pemburu, pembinasa binatanf, lantas menyesali perbuatannya seraya bertekat bulat untuk akhiri profesinya sebagai pemburu. Tanpa diketahui daun-daun yang dijatuhkannya mengenai sebuah Lingga yang berada di tepian telaga jernih, yang kala itu kondisinya kotor lantaran telah sekian lama tiiada yang membersihkannya, tak ada yang memujanya. Usapan helai- helai daun yang ia jatuhkan ketika mengenai permukaan Lingga berefek religis, yakni membersihkan Lingga dari kondisi kotornya. Demikianlah, kejadian ini tak terasa berlangsung semalaman, tanpa ia ingat bahwa sebenarnya malam yang gelap gulita itu bertepatan dengan “malam Siwa (Siwaratri)”..
Selang beberapa lama, Lundaka pun melupakan kejadian itu hingga pada saatnya ia meninggal. Arwahnya gentayangan di alam baka, lantaran dosa besarnya sebagai pembunuh, pemangsa, atau menjual daging binatang tangkapannya demi kebutuhan keluarga. Dewa Yama melihat dan bermaksud buntukbmenjebloskan ke dalam kawah Candragohmukha (neraka). Namun, pada saat bersamaan Dewa Siwa bergegas mencegah demi mengingat bahwa pada suatu malam di saat Siwaratri beberapa tahun silam Lubdaka sempat membersihkan Lingga-Nya dengan helai-helai daun yang dijatuhkannya dari atas pohon. Pasukan Dewa Yama (Yamabala atau Cikrabala) bertempur melawan para Gana (prajurit Dewa Siwa), hingga akhirnya Lubdaka berhasil dicegah untuk dimasukkan ke neraka, sebaliknya dibawa menuju ke Siwaloka (swarga) Kisah ini merupakan contoh kasus bagaimana seseorang pendosa besar sekalipun bisa jugs mencapai surga apabila berbakti psda Dewata (dewabhakti), kendatiipun bhaktinya itu tanpa disadari.
- Identifikasi Misteri Fragemen Relief
Apabila deskripsi fragmen relief koleksi Museum Wajakensis (butir Bara. 1) dibandingkan dengan pokok cerita “Siwaratrikalpa (Lubdaka)” (butir Bara. 2), maka diperoleh petunjuk bahwa kisah yang dipahatkan pada relief itu sangat mungkin adalah kisah Lubdaka. Laki-laki yang berada di atas pohon tersebut v adalah tokoh peran sang pemburu Lubdaka. Ketika matanya tidak dapat terpejam semalaman, maka tangannya iseng untuk meraih dan memetik daun-daun bilwa fan dijatuhkannya ke bawah, yang tanpa diduganya mengusapi pemukaan Lingga yang berada di bawah pohon bilwa pada tepian telaga jernih. Namun, dalan relief ini pahatan yang berupa Lingga tak ter tampakkan, alih-alih didapati pahatan berupa kepala kuda di kemuncak suatu pedestal. Boleh jadi Lingga-nya sengaja tak ditampakkan, sebab tersembunyi brbalik semak-semak dan pedestal itu. Kemungkinan lain, pahatan Lingga berada di bagian relief yang rompak, mengingat relief ini dalam keadaan fragentaris dan rompakan yang lainnya belum diketemukan, sayang sekali.
Apabila betul bahwa fragmen relief itu membuat kisah “Lubdaka”, maka bisa dibilang merupakan satu-satunya relief yang berhasil diketemukan mengenai relief cerita “Siwaratrikalpa” alias “Lubdaka”. Ada kemungkinan, konon di tempat pebemuabnya, yakni tak jauh di sebelah selatan Candi Sanggrahan petbah terdapat sebyah candi kecil atau mungkin semacam “pendapa teras” yang pada dindingnya diberi pahatan relief kisah Lubdaka. Pokok pesan dari fragmen relief ini, selain penegasan akan urgensi ritus Siwaratri, juga berkenaan dengan perlunya “ahimsa”, yakni tiak menyakiti atau bahkan membunuh binatang.
Pesan tentang “ahimsa” tersebut sejalan dengan ditiadakannya panil relief “pembunuhan babi hutan” pada relief cerita di dinding dalam goa pertapaan Selomangleng — terletak kurang dari satu kilo meter di sebelah selatannya. Pesan mengrrnai Ahimsa ini dipandang penting, mengingat bawa baik Goa Selamsngleng ataupun candi kecil padamana relief ini ditempatkan berada dekat dengan candi Mahayana Buddhisme, yakni Kuti Sanggraha (kini lazim dinamai dengan “Candi Sanggahan” atau disebut juga “Candi Cungkup”). Dengan perkataan lain, pilihan terhadap cerita “Lubdaka” pada fragmen relief ini kontekstual dengan bagunan suci di dekatnya yang adalah candi Buddhis, dimana Buddhisme menekankan urgensi ajaran “Ahimsa”.
C. Jejak Ritus Siwaratri Masa Majapahit
- Peleburan Dosa Kala Malam Siwa
Hari Siwaratri sering juga disebut demgan “Hari Peleburan Dosa”, yang karennya masuk dalam kategori “hari suci (sacre day)”. Pokok upacara berupa “Linggapuja”, yakni pemujaaa kepada Sang Hyang Siwa, dengan memuja Dang Hyang Lingga sebagai simbol Dewa Siwa. Selain itu dilakukan tiga hal pokok, yaitu (a) monobrata (tidak berbicara), (b) upayasa (tidak makan minum), dan (c) jagra ( tidak tidur sedari pagi, malam hingga pagi kembali). Tindakan jagra mengingatkan kepada kisah “Siwaratrikalpa”, dimana semalaman Lubdaka terjaga tepat di Malam Siwa (Siwaratri). Ada kemungkinan, kata “jaga” — seperti pada kata “terjaga” — berasal dari istilah “jagra” Ini.
Bagi umat Hindu apabila bersungguh-sungguh menjalankan ritus Sivaratri, niscaya dapat ia dapat memetik buah perbuatan (kalpa) dari Malam Siwa sebagamana diteladankan oleh Lubdaka dalam kisah “Siwaratrikalpa”. Dalam susastra ini diperoleh teladan bahwa ketika seseorang merenungi masa lalunya tentang “sifat-sifat jahat dari dirinya”, maka ia menyesal perbuatannya dan tidak ingin mengulangi dan sebaiknya bertekat untuk berubah menjadi lebih baik. Ketakutan Lubdaka akan binatang buas penghuni hutan mendorongnya selamatkandei sembari mengucapkan doa-dosa. Ending kisah ini adalah pesan bahwa orang yang berdosa besar sekalipun walau hanya semalam memuja Dewa Siwa di Malam Siwa, ia bisa mendapat pengampunan atas segala dosanya. Upacara religis Siwaratri disebut juga dengan “Pamarajaratri” atau acapkali dinamai dengan “Maha Siwaratri”, yang secara harafiah berarti : malam agung turunnya Siwa.
- Persenbahan Daun Biilwa kepada Dewa Siwa
Festival keagamaan Siwaratri dirayakan dengan mempersembahkan daun Bael (Bilwa) kepada Siwa, sepanjang hari berpuasa dan sepanjang malam bergadang. Sepanjang hari seluruh pemuja Siwa akan melafalkan mantra suci Pancaksara yang didedikasikan kepada TUHAN “Om Nama Siwaya”. Pemberian persembahan khusus berupa ” daun bilwa (varian sebutan lain “wilwa — konsonan “B” bertukar dengan “W”) — sejalan dengan kisah ” Siwaratrikalpa”, ketika Lubdaka menjatuhkan lembar demi lembar daun pohon bilwa yang tanpa diketahuinya mengusap dan membersihkan pemukaan Lingga yang kotor tepat di Malam Siwa (Suwaratri).
Ketika tiba Hari Siwaratri, jutaan umat Hindu di Nepal datang mengunjungi festival ini bersama dengab umat lainnya di Kuil Pashupatinath. Selama Mahasiwaratri, Nishita Kala merupakan waktu paling yang tepat untuk melsksanakan Siwapuja. Pada hari itu pafa semua kuil Siwa merayakan Lingodbhawapuja. Kemarakkan yang demikian terjadi pula di Bali, yakni suatu pulau di Indonesia yang sebagian besar dari warganya menganut agama Hindu.
Demikianlah tulisan ringkas dan bersahaja ini sengaja dibuat sebagai eksplanasi terhadap sebuah fragmen relief koleksi dari Museum Wajakensis di Tulungagung yang sejauh ini masih met pakan “relief misterius”. Semoga dapat memberikan kedaerahan. Paling tidak sebagai pembuktian visual (artefatual) bahwa tradisi Siwaratri paling tidak telah terdapat di Nusantara pada Masa Majapahit.
Pewarta : Setiawan S.Th

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal