
RI News Portal. Teheran 13 Juli 2025 — Dalam momentum diplomasi pascakonflik Iran-Israel, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyampaikan bahwa kerja sama antara Teheran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) akan tetap berlangsung dalam format baru yang menjamin keamanan fasilitas nuklir nasional. Hal ini disampaikannya dalam pertemuan bersama para duta besar dan kepala misi asing di Teheran, sebagaimana dilaporkan oleh Tasnim News, Sabtu (12/7/2025).
Pernyataan ini muncul tak lama setelah selesainya konflik bersenjata selama 12 hari antara Israel dan Iran, yang menewaskan sedikitnya 606 warga Iran dan 12 warga Israel, serta melukai ribuan lainnya di kedua belah pihak. Konflik ini dipicu oleh serangan udara Israel pada 13 Juni terhadap sejumlah fasilitas militer, nuklir, dan sipil Iran.
Araghchi menegaskan bahwa komitmen Iran terhadap Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) tetap kuat. “Program nuklir Iran akan selalu menjunjung perdamaian dan akan tetap seperti itu,” ujarnya, menepis segala spekulasi mengenai kemungkinan penggunaan program nuklir Iran untuk kepentingan militer.

Dalam pernyataannya, Araghchi menegaskan bahwa segala bentuk kerja sama dengan IAEA kini akan dijalankan berdasarkan keputusan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Ia menjelaskan, “Menurut hukum parlementer, kerja sama kami dikelola melalui Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, dan permintaan IAEA akan ditinjau secara case-by-case oleh dewan ini.”
Pendekatan baru ini menandakan upaya Iran untuk mempertahankan kedaulatannya di tengah tekanan internasional, sembari tetap berada dalam kerangka hukum internasional. Araghchi juga menyampaikan kritik terhadap pelanggaran prinsip non-proliferasi oleh negara-negara tertentu, menyatakan bahwa “pelanggaran terhadap sistem non-proliferasi merupakan kerugian, bukan hanya bagi Iran, tapi juga bagi komunitas internasional.”
Konflik Iran-Israel memperlihatkan betapa rentannya stabilitas kawasan terhadap isu nuklir yang belum tuntas secara global. Meski Iran tetap dalam koridor NPT, keraguan negara-negara Barat dan rival regional terhadap niat damai Iran terus menjadi tantangan dalam diplomasi internasional.
Baca juga : Tragedi Udara Terburuk: Saklar Mesin Diduga Jadi Pemicu Jatuhnya Pesawat Air India di Ahmedabad
Langkah Iran untuk melanjutkan kerja sama dengan IAEA, meski dalam format baru, menandakan pilihan strategis untuk menghindari isolasi internasional pascakonflik. Namun, mekanisme “kasus per kasus” yang ditawarkan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi juga mengindikasikan kehati-hatian Iran terhadap kemungkinan manipulasi politik dalam permintaan inspeksi dari IAEA.
Gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat dan mulai berlaku sejak 24 Juni 2025 menjadi titik krusial dalam meredakan eskalasi. Namun, pernyataan Teheran juga memperlihatkan bahwa stabilitas jangka panjang hanya dapat terwujud melalui penghormatan atas prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk integritas kedaulatan negara dalam mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Amerika Serikat, sebagai sponsor gencatan senjata, kini menghadapi dilema kebijakan luar negeri: menyeimbangkan dukungan terhadap sekutunya, Israel, sekaligus menghidupkan kembali mekanisme diplomasi nuklir dengan Iran yang sempat terganggu sejak keluarnya AS dari JCPOA pada 2018.
Isu kerja sama nuklir Iran-IAEA pascakonflik ini merupakan titik temu antara kedaulatan negara, mekanisme hukum internasional, dan kepentingan geopolitik global. Kajian lebih lanjut dapat diarahkan pada:
- Efektivitas pendekatan “kasus per kasus” dalam menjamin transparansi nuklir Iran;
- Implikasi hukum internasional atas serangan preemptif terhadap fasilitas nuklir;
- Peran organisasi internasional dalam menjaga netralitas di tengah konflik regional.
Pewarta : Setiawan S.TH

