RI News Portal. Phnom Penh – Kunjungan kerja Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Anis Matta, ke Kamboja pada 30 November–2 Desember 2025, menandai langkah strategis baru dalam memperdalam hubungan bilateral yang selama ini lebih banyak berfokus pada dimensi ekonomi dan politik formal. Berbeda dari pendekatan konvensional, kunjungan ini menempatkan penguatan people-to-people contact—khususnya antar-komunitas Muslim—sebagai prioritas utama, sekaligus menjadi jembatan untuk merumuskan bentuk kerja sama yang lebih konkret dan terukur di masa depan.
Dalam rangkaian pertemuan resmi, Wamenlu Anis Matta berdialog dengan dua tokoh kunci pemerintahan Kamboja: Secretary of State Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Ung Rachana, serta Senior Minister for Special Mission on Islamic Affairs, Neak Oknha Datuk Dr. Othsman Hassan. Pembahasan tidak hanya mencakup agenda bilateral klasik, tetapi juga dinamika keamanan kawasan Asia Tenggara dan penyelesaian kasus-kasus yang melibatkan warga negara Indonesia di Kamboja—termasuk isu perlindungan hukum dan pencegahan perdagangan manusia yang kerap melibatkan jaringan lintas batas.
“Indonesia ingin melampaui kerja sama antarpemerintah semata. Kami siap meningkatkan interaksi langsung antara masyarakat Indonesia dan Kamboja secara umum, serta antara komunitas Muslim kedua negara secara khusus,” tegas Anis Matta dalam pernyataan tertulis yang dirilis Kementerian Luar Negeri RI pada 2 Desember 2025.

Pernyataan tersebut bukan sekadar retorika. Kedua negara sepakat untuk segera memulai proses pendalaman teknis guna merumuskan program-program konkret, seperti pertukaran pelajar madrasah dan pesantren, penguatan kerja sama halal industry, pengembangan wisata religi berbasis sejarah Islam Cham di Kamboja, hingga peningkatan kapasitas dai dan ulama muda melalui program beasiswa dan pelatihan bersama.
Kunjungan ini juga memiliki dimensi simbolik yang kuat. Dalam silaturahmi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat Muslim Kamboja, Anis Matta menggarisbawahi bahwa ikatan Indonesia-Kamboja tidak dimulai pada era ASEAN atau bahkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955, melainkan jauh lebih awal: melalui jalur perdagangan dan penyebaran Islam sejak abad ke-13 hingga ke-16, ketika kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Khmer pasca-Islamisasi Champa dan komunitas Cham.
“Fondasi historis ini terlalu kokoh untuk hanya dijadikan catatan kaki dalam buku sejarah. Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk mengaktifkan kembali memori kolektif itu melalui kerja sama yang hidup dan relevan dengan tantangan masa kini,” ujar Anis Matta di hadapan para ulama dan tokoh masyarakat setempat.
Baca juga : Yeri Red Velvet Resmi Perankan Mantan Atlet Haenyeo dalam Adaptasi Webtoon “Azure Spring”
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Dr. Shiskha Prubandari, menilai pendekatan ini sebagai inovasi diplomasi yang langka di tengah kecenderungan negara-negara ASEAN untuk lebih mengutamakan mekanisme resmi ASEAN atau kerja sama ekonomi semata.
“Ketika banyak negara mengalami polarisasi identitas, Indonesia justru menggunakan soft power berbasis agama dan sejarah untuk membangun kepercayaan di tingkat masyarakat. Ini bisa menjadi model baru bagi diplomasi Asia Tenggara yang inklusif,” katanya.

Keberhasilan kunjungan ini akan diukur dari seberapa cepat kesepakatan-kesepakatan lisan diterjemahkan menjadi program nyata dalam enam hingga dua belas bulan mendatang. Jika terealisasi, kerja sama Indonesia-Kamboja berpotensi menjadi prototipe hubungan bilateral yang tidak hanya menguntungkan pemerintah, tetapi juga langsung dirasakan oleh masyarakat—khususnya komunitas Muslim minoritas di Kamboja dan diaspora Indonesia di Asia Tenggara.
Kehadiran seorang wakil menteri luar negeri yang juga dikenal sebagai tokoh Muslim nasional dalam kunjungan kenegaraan ini mengirimkan sinyal kuat: Indonesia tidak hanya menawarkan kerja sama, tetapi juga persaudaraan.
Pewarta : Anjar Bramantyo

