
RI News Portal. Kampala, Uganda – Wakil Menteri Luar Negeri RI Arrmanatha C. Nasir dan Wakil Menteri Luar Negeri Uganda Tata menyerukan reformasi mendalam pada Gerakan Non-Blok (GNB) demi memperkuat solidaritas antaranggota di tengah tantangan geopolitik global yang kian rumit. Pernyataan tegas keduanya disampaikan pada Pertemuan Tingkat Menteri Biro Koordinasi GNB (PTM GNB) ke-19 yang berlangsung di Kampala pada 15-16 Oktober 2025.
Dalam pidatonya, Arrmanatha menekankan urgensi menghentikan pemborosan sumber daya GNB yang selama ini terjebak pada penyusunan dokumen panjang lebar tanpa dampak nyata bagi masyarakat. “Kita harus menghentikan kebiasaan menghabiskan sumber daya untuk menyusun ribuan halaman dokumen yang tidak memberikan manfaat langsung bagi rakyat,” tegasnya, menyoroti inefisiensi birokrasi yang melemahkan peran organisasi beranggotakan 120 negara berkembang ini.
Sementara itu, Wakil Menteri Tata menegaskan bahwa relevansi GNB bergantung pada sistem multilateral yang kuat dan adil, yang berpijak pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta hukum internasional. Ia mendesak GNB untuk berada di garis depan reformasi PBB, membangun tatanan multilateral yang lebih inklusif, serta memperjuangkan keadilan dan supremasi hukum—khususnya bagi rakyat Palestina yang tengah menghadapi ketidakadilan berkepanjangan.

Secara khusus, kedua pejabat itu mengajak anggota GNB untuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan. Tata menyoroti potensi NAM Centre for South-South Technical Cooperation di Jakarta sebagai pusat unggulan untuk pertukaran pengetahuan dan pembangunan antarnegara berkembang. “Kita harus menghidupkan kembali semangat kebersamaan, dari GNB untuk GNB, guna saling memberdayakan satu sama lain dan memperkuat kemandirian kolektif,” ujarnya.
Arrmanatha turut menekankan pentingnya membangkitkan kembali “Spirit Bandung 1955″—semangat Konferensi Asia-Afrika yang menjadi cikal bakal GNB—untuk menjaga relevansi organisasi di era ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi, kesenjangan sosial yang melebar, krisis iklim, serta erosi kepercayaan global. “Pertanyaan utama dewasa ini bukan apakah GNB masih relevan, tetapi apakah GNB memilih untuk tetap relevan,” katanya, menantang para menteri hadir untuk bertindak konkret.
Salah satu sorotan terkuat adalah menurunnya solidaritas GNB terhadap isu Palestina. Arrmanatha menyesalkan bahwa kemerdekaan Palestina, yang dulu menjadi denyut nadi perjuangan GNB, kini semakin memudar. “Sebagai contoh, hanya 70 persen anggota GNB yang mendukung Deklarasi New York tentang Solusi Dua Negara. Ini mencerminkan menurunnya solidaritas kita,” tegasnya, mengkritik kurangnya suara kolektif yang tegas.
Baca juga : Gubernur Maluku Utara Konsultasi ke KPK untuk Tingkatkan Skor Pencegahan Korupsi
Pertemuan yang dipimpin Menteri Luar Negeri Uganda Odongo Jeje Abubakhar—sebagai Ketua GNB periode 2024-2027—ini mengusung tema “Deepening Cooperation for Shared Global Affluence”. Diikuti puluhan wakil negara anggota, forum ini menyepakati Dokumen Final yang memuat prioritas strategis GNB, meliputi perdamaian dan keamanan internasional, pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, serta pengentasan kemiskinan struktural.
Dari perspektif hubungan internasional, inisiatif Indonesia dan Uganda ini merepresentasikan upaya revitalisasi institusi multilateral pasca-Perang Dingin. Para pakar seperti Prof. Amitav Acharya dari American University menilai bahwa GNB, yang lahir dari semangat anti-kolonialisme, kini menghadapi paradoks: organisasi yang mewakili 55 persen populasi dunia justru terhambat oleh inersia birokrasi dan fragmentasi geopolitik. Reformasi internal yang diusulkan—dari efisiensi dokumen hingga penguatan pusat kerja sama di Jakarta—dapat menjadi katalisator untuk “South-South solidarity” yang lebih adaptif terhadap ancaman asimetris seperti perubahan iklim dan dominasi teknologi Barat.

Studi terbaru dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta memperkirakan bahwa kerja sama Selatan-Selatan via GNB berpotensi menambah PDB kolektif negara berkembang hingga 2-3 persen per tahun jika dioptimalkan. Namun, tanpa komitmen pada isu normatif seperti Palestina, GNB berisiko kehilangan legitimasi moralnya, sebagaimana dianalisis dalam jurnal Third World Quarterly (2024) yang menyebut solidaritas Palestina sebagai “litmus test” identitas GNB.
Langkah ini juga selaras dengan diplomasi Indonesia sebagai “bridge builder” di forum Global South, memperkuat posisinya menjelang KTT GNB 2027. Dengan demikian, PTM Kampala bukan sekadar pertemuan rutin, melainkan panggilan untuk transformasi yang menjadikan GNB sebagai kekuatan pembentuk tatanan dunia yang lebih adil.
Pewarta : Yudha Purnama
