
RI News Portal. Jakarta, 19 Agustus 2025 – Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, yang terjerat dalam skandal korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun, telah resmi memperoleh pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025. Keputusan ini didasarkan pada putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang memangkas vonisnya dari 15 tahun menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara, memungkinkan Novanto memenuhi syarat administratif setelah menjalani dua pertiga masa hukuman. Namun, proses ini menimbulkan perdebatan akademis mengenai efektivitas deterrence (efek jera) dalam penegakan hukum anti-korupsi, terutama di tengah kontradiksi pernyataan pejabat terkait kewajiban pelaporan pasca-bebas.
Kasus Novanto bermula dari vonis Pengadilan Tipikor pada 2018, yang menyatakan dirinya bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hukuman awal mencakup 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang telah disetor ke KPK), dengan subsider 2 tahun penjara jika tidak dibayar. Selain itu, hak politiknya dicabut selama 5 tahun pasca-pemidanaan.

Pada 4 Juni 2025, MA mengabulkan PK Novanto melalui Putusan Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, yang memangkas pidana pokok menjadi 12 tahun 6 bulan, denda tetap Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik menjadi 2 tahun 6 bulan. Uang pengganti disesuaikan menjadi sekitar Rp49 miliar, yang telah dilunasi, sehingga menghindari subsider tambahan. Putusan ini mempertimbangkan faktor mitigasi seperti kontribusi Novanto dalam program rehabilitasi di Lapas Sukamiskin, termasuk partisipasi aktif dalam ketahanan pangan dan pembinaan spiritual, yang dinilai sebagai bukti perbaikan diri.
Secara kronologis, Novanto telah menerima remisi kumulatif sejak 2023, termasuk remisi khusus Hari Raya Idul Fitri (30 hari masing-masing pada 2023 dan 2024) dan remisi Hari Kemerdekaan (90 hari pada 2023), meskipun tidak ada remisi tambahan pada HUT RI ke-80 tahun ini. Hal ini mempercepat pemenuhan syarat dua pertiga masa pidana, yang secara matematis dihitung sebagai berikut: Dari total 12,5 tahun (150 bulan), dua pertiga adalah sekitar 100 bulan. Dengan masa tahanan sejak 2017 dan remisi akumulatif sekitar 28 bulan, Novanto memenuhi ambang batas per Mei 2025, meskipun pelaksanaannya baru pada Agustus. Untuk menghitung secara sederhana: Jika masa pidana efektif setelah PK adalah T = 150 bulan, syarat pembebasan bersyarat adalah (2/3) × T ≈ 100 bulan. Dengan masa tahanan aktual M (sekitar 92 bulan sejak 2017) ditambah remisi R (28 bulan), total M + R > 100 bulan, sehingga memenuhi Pasal 15A UU No. 22/2022 tentang Pemasyarakatan.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menimipas) Agus Andrianto menegaskan bahwa pembebasan bersyarat Novanto telah melalui asesmen ketat dan bahkan terlambat dari jadwal ideal 25 Juli 2025. “Iya, karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya,” ujar Agus usai upacara HUT RI di Istana Merdeka. Ia menambahkan bahwa tidak ada kewajiban pelaporan berkala karena “denda subsidier sudah dibayar,” yang menurutnya menghapus segala beban tambahan.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, Kusnali, yang menyatakan Novanto tetap wajib lapor bulanan hingga April 2029. “Bebas bersyarat masih ada kewajiban untuk lapor dalam setiap sebulan. Sampai dengan masa percobaan April tahun 2029,” tegas Kusnali di Bandung. Kontradiksi ini mungkin timbul dari pemahaman berbeda antara denda subsidier (yang memang telah dilunasi) dan kewajiban supervisi pasca-PB, yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 7/2022. Denda subsidier berkaitan dengan pidana tambahan, sementara wajib lapor adalah bagian integral dari PB untuk memastikan reintegrasi sosial, bukan tergantung pada pembayaran denda semata.
Dari perspektif kriminologi, pembebasan bersyarat Novanto menyoroti kerentanan sistem pemidanaan Indonesia dalam menciptakan efek jera bagi koruptor kelas kakap. Profesor Hukum dari Universitas Islam Bandung, Nandang Sambas, menilai hal ini “merusak konsistensi penegakan hukum” dan dapat menimbulkan distrust masyarakat terhadap keadilan. Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada menambahkan bahwa KPK masih “berhutang” resolusi kasus ini, termasuk pengejaran tersangka lain seperti Paulus Tannos, untuk memperkuat deterrence.
Secara komparatif, kasus ini mirip dengan pembebasan bersyarat koruptor lain seperti Akil Mochtar atau Anas Urbaningrum, di mana remisi dan PK sering mengurangi vonis efektif hingga 30-40%. Analisis ini menunjukkan perlunya reformasi UU PTPK untuk membatasi PK pada kasus korupsi, atau memperketat syarat PB dengan memasukkan faktor dampak sosial kerugian negara. Publik di platform X juga bereaksi kritis, dengan tagar seperti #SetyaNovantoBebas mencerminkan kekhawatiran atas janji Presiden Prabowo Subianto untuk hukuman korupsi hingga 50 tahun.
Dalam konteks lebih luas, pembebasan ini terjadi di tengah upaya pemerintah memperkuat lembaga pemasyarakatan, namun tanpa penanganan kontradiksi internal seperti ini, kredibilitas sistem hukum berisiko terkikis. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi apakah PB semacam ini benar-benar mendukung rehabilitasi atau justru melemahkan akuntabilitas.
Pewarta : Yudha Purnama
