RI News Portal. Bitung, 12 November 2025 – Ketegangan sosial di Kota Bitung, Sulawesi Utara, memasuki fase eskalatif baru menyusul pengumuman Persatuan Organisasi Lintas Adat Agama dan Budaya (POLA) untuk mengerahkan sekitar 500 personel dalam demonstrasi massal pada Senin mendatang. Inisiatif ini merupakan respons kulminatif terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap sejumlah karyawan CV Multi Rempah Sulawesi, yang hingga kini belum memperoleh kompensasi pesangon sesuai ketentuan hukum ketenagakerjaan nasional.
Puboksa Hutahaean, Ketua Umum POLA, dalam pernyataan eksklusif kepada tim riset lapangan, menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan manifestasi dari kohesi sosial lintas identitas yang bertujuan memperkuat posisi tawar buruh di tengah dinamika industrialisasi daerah. “Demonstrasi ini akan menjadi resonansi kolektif yang menjangkau seluruh spektrum masyarakat Bitung, hingga keadilan substantif bagi korban PHK terealisasi,” ujar Hutahaean, menggarisbawahi dimensi etis dari perjuangan tersebut.
Analisis kontekstual menunjukkan bahwa kasus ini mencerminkan pola struktural dalam hubungan industrial di sektor usaha menengah Sulawesi Utara, di mana ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sering kali memicu konflik horizontal. POLA, sebagai entitas yang mengintegrasikan elemen adat, agama, dan budaya, memanfaatkan jaringan aliansi untuk memperluas basis dukungan, melibatkan ratusan anggota tetap serta mitra masyarakat sipil. Pendekatan ini, menurut observasi akademis, memperkaya diskursus ketenagakerjaan dengan perspektif multikultural, yang jarang dieksplorasi dalam literatur konflik buruh konvensional.

Inti tuntutan POLA mencakup akselerasi implementasi rekomendasi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang telah disepakati sebelumnya, serta penolakan terhadap narasi dehumanisasi yang diatribusikan kepada manajemen CV Multi Rempah Sulawesi. Hutahaean secara eksplisit menyanggah label pejoratif yang beredar, dengan menyatakan: “Narasi tersebut bukan hanya menciderai integritas individu, tetapi juga merusak fondasi dialog sosial yang esensial untuk resolusi berkelanjutan.” Pernyataan ini mengindikasikan adanya lapisan psikososial dalam konflik, di mana isu martabat menjadi variabel kritis selain aspek ekonomi.
Dari sudut pandang sosiologis, mobilisasi POLA dapat diinterpretasikan sebagai bentuk counter-hegemony terhadap dominasi kapital lokal, di mana identitas lintas adat menjadi instrumen mobilisasi yang efektif di wilayah dengan keragaman etnis tinggi seperti Bitung. Data primer dari wawancara mendalam dengan perwakilan korban PHK mengungkap pola ketidakpastian hukum yang sistematis, termasuk absennya mekanisme mediasi tripartit yang mandek pasca-RDPU. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa intervensi negara daerah masih terfragmentasi, membuka ruang bagi aktor non-pemerintah seperti POLA untuk mengisi vakum tersebut.
Baca juga : Advokat Diminta Perkuat Integritas dan Solidaritas Jelang KUHP Nasional 2026
Aksi yang akan dikoordinasikan secara formal dengan aparat kepolisian setempat ini diproyeksikan sebagai titik balik historis dalam advokasi hak buruh di Bitung. POLA mengajak partisipasi luas dari komunitas akademik, profesi, dan masyarakat umum untuk membentuk front solidaritas yang inklusif, dengan harapan mendorong reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adaptif terhadap konteks lokal.
Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari model mobilisasi lintas identitas ini terhadap stabilitas industrial di kawasan Timur Indonesia. Untuk saat ini, Bitung berada pada ambang transformasi sosial yang potensial, di mana suara kolektif buruh berpotensi mendefinisikan ulang paradigma keadilan kerja.
Pewarta : Steven Tumuyu

