RI News Portal. Bogotá, 11 Desember 2025 – Dalam pidato yang semakin memanaskan suasana geopolitik Amerika Latin, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka mengancam Presiden Kolombia Gustavo Petro dengan pernyataan bahwa pemimpin Kolombia itu “akan menjadi yang berikutnya” dalam kampanye militer Washington. Ancaman ini disampaikan pada Rabu (10/12) di tengah upaya Trump untuk menggulingkan rezim Presiden Venezuela Nicolás Maduro, di mana tuduhan perdagangan narkoba menjadi senjata retoris utama. Pernyataan Trump bukan hanya eskalasi verbal, melainkan sinyal potensial dari perluasan operasi militer AS yang telah menewaskan puluhan orang di perairan regional.
Trump, yang telah berbulan-bulan menargetkan Maduro dengan label “narko-teroris”, kini mengarahkan sorotan ke tetangga utara Venezuela. “Dia cukup bermusuhan dengan Amerika Serikat. Kolombia memproduksi banyak narkoba, pabrik kokain yang menjual langsung ke AS. Sebaiknya dia sadar, atau dia akan menjadi yang berikutnya,” ujar Trump saat menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Putih. Ancaman ini menandai puncak dari friksi yang membara sejak awal September, ketika AS meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap kapal-kapal diduga milik jaringan narkoba di Laut Karibia dan Samudra Pasifik Timur. Hingga kini, operasi tersebut telah mencatat 22 serangan yang dikonfirmasi, menewaskan 87 individu, termasuk awak kapal yang dikaitkan dengan kelompok bersenjata.

Konfirmasi Trump atas penyitaan kapal tanker minyak di lepas pantai Venezuela semakin memperburuk ketegangan. Tindakan ini, yang disebut-sebut sebagai “penangkapan terbesar” oleh pejabat AS, diduga bertujuan melemahkan pendapatan rezim Maduro melalui ekspor minyak—sumber utama devisa negara yang memiliki cadangan terbesar di dunia. Petro, dalam responsnya pada Selasa (9/12), menolak tuduhan narkoba sebagai “tidak berdasar” dan menegaskan bahwa Kolombia telah mengerahkan sumber daya besar dalam perang melawan obat-obatan terlarang selama dekade terakhir. “Ini bukan tentang narkoba, tapi minyak bumi yang menjadi inti masalahnya,” tegas Petro, menuduh agenda Trump lebih condong pada penguasaan sumber daya alam daripada demokratisasi Venezuela.
Eskalasi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sejak Trump kembali ke kekuasaan, AS telah mengerahkan armada militer yang masif di wilayah tersebut, termasuk kapal induk, jet tempur, pesawat pengebom, dan drone pengintai. Alasan resmi adalah pemberantasan “narko-terorisme”, tapi para analis melihat pola intervensi yang mirip dengan operasi masa lalu di Panama atau Grenada. Penyitaan tanker minyak, misalnya, tidak hanya memukul ekonomi Venezuela yang sudah rapuh—dengan hiperinflasi dan kelaparan massal—tetapi juga mengganggu rantai pasok regional, termasuk rute perdagangan Kolombia yang bergantung pada stabilitas perbatasan.
Baca juga : Kementerian PPPA Desak Hukuman Maksimal bagi Ayah Pelaku Pencabulan Anak Kandung di Demak
Di Kolombia, ancaman Trump memicu gelombang protes di Bogotá dan Medellín, di mana demonstran menyerukan Petro untuk memperkuat aliansi dengan negara-negara Latin seperti Brasil dan Meksiko. Petro, yang terpilih sebagai presiden kiri pertama Kolombia pada 2022, telah vokal menentang ekspansi militer AS, menyebutnya sebagai “ancaman terhadap kedaulatan regional”. Respons domestik di AS pun beragam: sementara pendukung Trump memuji pendekatan “keras” ini sebagai kelanjutan perang melawan narkoba era Nixon, anggota Kongres dari kedua partai mempertanyakan legalitas serangan di perairan internasional. Seorang senator Demokrat anonim menyatakan kekhawatirannya bahwa operasi ini bisa melanggar Konvensi Hukum Laut PBB, berpotensi memicu tuntutan di Mahkamah Internasional.
Secara ekonomi, dampaknya terasa nyata. Harga minyak Brent melonjak 3% setelah pengumuman penyitaan tanker, mencerminkan ketakutan investor atas gangguan pasokan dari Venezuela, yang menyumbang sekitar 17% cadangan global. Kolombia, sebagai eksportir kopi dan bunga utama ke AS, menghadapi risiko tarif baru yang diisyaratkan Trump, yang bisa merusak PDB negara sebesar 2-3% menurut perkiraan ekonom lokal. Petro merespons dengan menawarkan Cartagena sebagai venue dialog antara oposisi Venezuela dan pemerintahan Maduro, upaya diplomatik yang menekankan solusi multilateral daripada konfrontasi.

Dari perspektif akademis, ancaman Trump dapat dibaca sebagai manifestasi dari doktrin Monroe yang direvitalisasi, di mana hegemoni AS di belahan bumi barat dipaksakan melalui narasi keamanan nasional. Sejarawan seperti Noam Chomsky pernah mengkritik pendekatan serupa sebagai “imperialisme berbalut anti-narkoba”, di mana isu domestik seperti krisis opioid di AS diekspor sebagai justifikasi intervensi. Dalam konteks ini, tuduhan terhadap Petro—yang pernah menjadi anggota kelompok gerilya M-19 sebelum beralih ke politik—menggemakan stereotip lama tentang Amerika Latin sebagai “halaman belakang” Washington.
Namun, narasi Petro tentang minyak memiliki dasar kuat. Venezuela duduk di atas 300 miliar barel cadangan terbukti, aset yang menggoda di tengah transisi energi global. Penelitian dari Council on Foreign Relations menunjukkan bahwa sanksi AS sejak 2017 telah mengurangi ekspor minyak Venezuela hingga 90%, membuka peluang bagi perusahaan AS untuk mengisi kekosongan pasca-regime change. Kritik internal di AS, termasuk dari mantan pejabat intelijen, menyoroti bahwa kampanye anti-narkoba ini lebih efektif sebagai alat tekanan politik daripada solusi substansial—bukti dari kegagalan Plan Colombia, yang menghabiskan miliaran dolar namun gagal membendung aliran kokain ke utara.
Sementara itu, Maduro memanfaatkan ancaman ini untuk menggalang solidaritas regional, menyebut tindakan AS sebagai “pembajakan internasional”. Di tengah krisis kemanusiaan Venezuela—dengan 7 juta pengungsi sejak 2015—eskalasi ini berisiko memicu migrasi massal baru ke Kolombia dan Brasil, memperburuk beban perbatasan.

Hari ini, Menteri Luar Negeri Kolombia mengumumkan pertemuan darurat dengan Uni Eropa untuk membahas mediasi, sementara Trump dijadwalkan berpidato di Florida tentang “keamanan perbatasan selatan”. Apakah ancaman ini akan berujung pada tindakan militer langsung terhadap Kolombia tetap spekulatif, tapi riwayat Trump menunjukkan preferensi pada tekanan maksimum. Bagi Petro, tantangannya adalah menyeimbangkan kritik terhadap Washington dengan kebutuhan bantuan ekonomi AS, sementara mempertahankan kredibilitas sebagai pemimpin progresif.
Amerika Latin, yang telah lama bergulat dengan bayang-bayang intervensi utara, kini berada di persimpangan: apakah dialog akan menang, atau apakah “jaguar” yang dibangkitkan Petro akan mengaum balik? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi satu hal pasti—ketegangan ini telah mengubah dinamika regional, dengan implikasi yang melampaui benua.
Pewarta : Setiawan Wibisono

