RI News Portal. Jakarta, 23 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk persiapan malam puncak Festival Film Wartawan (FFW) 2025, empat film Indonesia yang berhasil mencuri perhatian melalui nominasi bergengsi kini kembali disajikan kepada penonton melalui jaringan bioskop nasional. Pemutaran ulang ini tidak hanya menjadi jembatan bagi mereka yang kehilangan kesempatan awal, tetapi juga merefleksikan komitmen berkelanjutan industri perfilman Tanah Air dalam memelihara narasi lokal yang autentik dan mendalam.
Keputusan untuk merevitalisasi tayangan ini datang sebagai respons strategis menjelang acara penghargaan yang akan memuncak dalam waktu dekat. Dengan jadwal tayang dari 15 hingga 31 Oktober 2025, inisiatif ini menawarkan tiket berharga Rp25.000, jauh di bawah tarif standar, sehingga membuka akses lebih luas bagi kalangan mahasiswa, keluarga, dan pecinta seni yang ingin merasakan denyut cerita-cerita yang telah menyentuh hati jutaan penonton. Langkah ini, yang terinspirasi dari gelombang apresiasi pasca-nominasi, menegaskan peran bioskop sebagai katalisator budaya, di mana sinema bukan sekadar hiburan, melainkan ruang dialog sosial yang inklusif.
Keempat film yang dipilih—Panggil Aku Ayah, Sore: Istri dari Masa Depan, Tinggal Meninggal, dan Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah—mewakili spektrum tematik yang kaya, dari eksplorasi ikatan keluarga yang rapuh hingga eksperimen genre yang inovatif. Mereka bukan hanya pesaing di FFW 2025, di mana nominasi mencakup kategori aktor utama, aktris pendukung, hingga penataan sinematografi, tetapi juga cerminan evolusi perfilman Indonesia kontemporer. Sebagaimana dicatat dalam analisis awal festival, kehadiran karya-karya ini menandai pergeseran menuju narasi yang lebih berani mengeksplorasi trauma kolektif dan harapan masa depan, dengan kontribusi sineas muda yang semakin dominan.

Ambil contoh Panggil Aku Ayah, sebuah potret tragis tentang ketangguhan ibu tunggal di tengah himpitan ekonomi. Cerita ini menggali dilema moral ketika seorang ibu, terdesak utang, terpaksa menjadikan putrinya sebagai jaminan kepada penagih hutang yang tak terduga justru terpikat oleh kepolosan anak tersebut. Disutradarai dengan sentuhan realistis, film ini telah memicu diskusi luas tentang eksploitasi sosial, dengan nominasi untuk Ringgo Agus Rahman sebagai aktor utama dan Boris Bokir di kategori pendukung pria. Melalui lensa ini, penonton diajak merenungkan nilai empati di balik lapisan kemiskinan urban yang sering terabaikan.
Berbeda nuansa, Sore: Istri dari Masa Depan menyuntikkan elemen romansa futuristik yang ringan namun provokatif. Kisah seorang pria biasa yang bertemu wanita misterius yang mengklaim sebagai istrinya dari era mendatang menawarkan metafora segar tentang penyesalan dan kemungkinan kedua. Dengan nominasi untuk Sheila Dara Aisha sebagai aktris utama dan Dion Wiyoko di aktor utama, serta pujian untuk penataan gambar Hendra Adhi Susanto, film ini menonjol sebagai contoh bagaimana fiksi ilmiah lokal dapat menyatu dengan emosi universal, menginspirasi gelombang diskusi tentang identitas temporal di era digital.
Sementara itu, Tinggal Meninggal menghadirkan komedi absurd yang menantang norma duka cita konvensional. Mengikuti seorang pemuda kikuk yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian rekan kerjanya setelah kematian ayahnya, film karya Kristo Immanuel ini—yang juga bersaing di Festival Film Indonesia (FFI) 2025—mengajak tawa getir atas absurditas kehidupan modern. Nominasi untuk Syaifullah Praditya di penataan suara dan kategori skenario menegaskan kekuatannya dalam menggabungkan humor hitam dengan kritik sosial halus, menjadikannya favorit bagi generasi muda yang lelah dengan narasi linier.
Baca juga : Sektor Ekonomi Kreatif Indonesia Lampaui Target, Serap 26,5 Juta Tenaga Kerja
Terakhir, Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah menyelami dinamika keluarga disfungsional melalui mata seorang mahasiswi kedokteran yang terpaksa pulang akibat krisis beasiswa. Di rumah, ia menghadapi ayah yang absen dan saudara-saudara yang kelelahan menanggung beban, sebuah alegori kuat tentang ketidakadilan gender dan aspirasi terhambat. Amanda Rawles, yang dinominasikan sebagai aktris utama, membawa kedalaman emosional yang membuat film ini menjadi sorotan FFW, sekaligus pengingat akan urgensi reformasi pendidikan dan dukungan keluarga di tengah tekanan ekonomi.

Pemutaran ulang ini bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan pernyataan kolektif tentang ketahanan industri sinema Indonesia. Di saat globalisasi sering mendominasi layar lebar, inisiatif seperti ini memperkuat ekosistem lokal, di mana sutradara seperti Yandy Laurens (Sore: Istri dari Masa Depan) dan Ernest Prakasa (produser Tinggal Meninggal) terus mendorong inovasi. Bagi kritikus, momen ini juga menjadi ajang refleksi: bagaimana nominasi FFW—yang menyoroti jurnalisme visual melalui cerita manusiawi—dapat menjadi pendorong bagi kebijakan pendanaan seni yang lebih inklusif.
Dengan tiket terjangkau dan jadwal terbatas, undangan ini terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi dalam perayaan sinema nasional. Sebelum malam puncak FFW 2025 tiba, kesempatan ini mengajak kita untuk tidak hanya menonton, tapi juga merayakan karya-karya yang membentuk identitas kita sebagai bangsa yang penuh cerita.
Pewarta : Vie

