
RI News Portal. Jakarta, 20 September 2025 — Dalam sebuah langkah yang semakin mempertegas komitmen Washington terhadap Tel Aviv, pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengajukan proposal penjualan senjata senilai hampir $6 miliar kepada Israel. Pengumuman ini, yang disampaikan secara rahasia kepada Kongres sekitar sebulan lalu, mencakup akuisisi 30 helikopter tempur AH-64 Apache senilai $3,8 miliar—yang berpotensi menggandakan armada helikopter Israel saat ini—serta 3.200 kendaraan serbu infanteri senilai $1,9 miliar untuk memperkuat pasukan darat. Meskipun pengiriman senjata ini baru akan terealisasi dalam dua hingga tiga tahun ke depan, proposal tersebut datang di saat yang krusial: ketika Israel menghadapi tekanan internasional yang belum pernah sebesar ini atas operasi militernya di Gaza.
Langkah ini bukan sekadar transaksi komersial; ia mencerminkan dinamika geopolitik yang lebih dalam di Timur Tengah. Sebagai seorang akademisi yang telah meneliti hubungan AS-Israel selama lebih dari satu dekade, saya melihat proposal ini sebagai manifestasi dari “doktrin dukungan tak tergoyahkan” Trump—sebuah pendekatan yang kontras tajam dengan kebijakan Biden sebelumnya, yang sempat menunda pengiriman bom berat karena kekhawatiran korban sipil. Trump, sejak dilantik pada Januari lalu, telah mencabut pembatasan tersebut dan menyetujui bantuan militer senilai $12 miliar sepanjang tahun ini, termasuk paket $500 juta untuk kit panduan bom presisi pada Juni. Namun, di balik angka-angka bombastis ini, terdapat risiko eskalasi yang bisa memperburuk isolasi Israel di panggung dunia.

Perang antara Israel dan Hamas, yang memasuki tahun kedua pada akhir tahun lalu, telah berevolusi dari pertempuran teritorial menjadi simbol perpecahan moral internasional. Upaya mediasi AS untuk mencapai gencatan senjata—yang melibatkan negosiasi rahasia di Doha—telah terhenti total setelah serangan Israel terhadap pemimpin senior Hamas di Qatar tersebut, yang memicu kecaman dari sekutu tradisional Washington seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Laporan terbaru dari organisasi seperti International Committee of the Red Cross menyoroti dampak kemanusiaan yang mengerikan: lebih dari 40.000 korban jiwa di Gaza, dengan infrastruktur sipil yang hancur lebur.
Dari perspektif akademis, serangan baru Israel untuk menguasai Gaza City bukan hanya strategi militer, melainkan upaya untuk mengkonsolidasikan kontrol atas koridor strategis menuju Mesir. Namun, ini juga memicu tuduhan genosida dari kelompok seperti Society for the Study of Genocide, yang mengutip pola penghancuran sistematis sebagai pelanggaran Konvensi Genosida PBB 1948. Meskipun Israel membantah tuduhan tersebut sebagai propaganda, tekanan ini telah merembet ke arena domestik AS, di mana sekelompok senator Demokrat—dipimpin oleh tokoh progresif seperti Elizabeth Warren—mengajukan resolusi untuk memveto penjualan senjata ofensif. “Ini bukan lagi tentang aliansi; ini tentang akuntabilitas moral,” tulis Warren dalam surat terbuka minggu lalu.
Baca juga : Kebijakan Imigrasi Baru Trump: Lonjakan Biaya Visa H-1B dan Pengenalan “Kartu Emas” untuk Investor Kaya
Isolasi Israel semakin nyata melalui tindakan konkret dari mitra Eropa dan regional. Inggris, yang pada 2024 menangguhkan ekspor senjata karena risiko pelanggaran hukum humaniter internasional, kini melangkah lebih jauh dengan melarang pejabat Israel menghadiri Defence and Security Equipment International (DSEI), pameran pertahanan terbesar di Eropa. “Kami tidak bisa berdagang senjata sambil mengabaikan darah yang tertumpah,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy dalam konferensi pers baru-baru ini.
Turki, di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan, mengambil sikap yang lebih tegas: penutupan ruang udara untuk penerbangan militer Israel, termasuk kargo senjata. Langkah ini, yang diumumkan pekan lalu, secara efektif memutus rantai logistik AS-Israel di wilayah tersebut. Sementara itu, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni—yang sebelumnya dikenal pro-Israel—mengkritik serangan Gaza sebagai “tidak proporsional” dalam pidato di Parlemen Eropa, menandakan pergeseran bahkan di kalangan konservatif Eropa.
Menariknya, pertemuan Trump-Erdogan yang direncanakan minggu depan di Washington menambah lapisan ironis. Agenda resmi mencakup kesepakatan pembelian pesawat Boeing dan jet F-16 untuk Turki, tapi para analis menduga pembahasan Gaza akan mendominasi. “Trump mungkin menggunakan iming-iming ekonomi untuk meredam kritik Erdogan,” kata Prof. Mehmet Kaya dari Universitas Ankara, dalam wawancara eksklusif dengan platform ini. “Tapi ini bisa jadi boomerang: semakin AS mendukung Israel, semakin Turki mendekat ke Rusia dan Iran.”
Proposal senjata ini merupakan bagian dari Memorandum of Understanding (MOU) 2016 senilai $38 miliar, yang akan berakhir pada 2028. Kongres AS, melalui tinjauan informal di tingkat komite, kemungkinan akan menyetujuinya tanpa hambatan signifikan—seperti yang terjadi pada penjualan sebelumnya. Departemen Luar Negeri menolak berkomentar, tapi sumber internal mengonfirmasi bahwa proses formal akan dimulai segera setelah ulasan selesai.
Secara akademis, paket ini menggarisbawahi ketegangan antara realpolitik AS dan norma-norma pasca-Perang Dingin. Dukungan tak terkondisional ke Israel memperkuat posisi Washington di hadapan Iran, tapi juga merusak kredibilitasnya sebagai penjaga hak asasi manusia. Sebuah studi terbaru dari Council on Foreign Relations memproyeksikan bahwa isolasi Israel bisa memicu realignmen Timur Tengah: negara-negara Teluk mungkin mempercepat normalisasi dengan Palestina, sementara AS kehilangan pengaruh di forum seperti PBB.
Pada akhirnya, di balik kilauan angka $6 miliar, terdapat pertanyaan mendasar: apakah dukungan ini mempercepat perdamaian, atau justru memperpanjang siklus kekerasan? Saat dunia menyaksikan, jawabannya mungkin tergantung pada apakah Trump bisa menavigasi badai diplomatik ini—atau apakah ia akan membiarkannya menjadi legacy yang paling kontroversialnya.
Dr. Nadia Al-Farsi adalah dosen senior di bidang studi Timur Tengah kontemporer. Pendapat di atas adalah pandangan pribadi dan tidak mencerminkan institusi afiliasinya. Sumber: Wawancara eksklusif, dokumen Kongres AS, dan laporan PBB (diakses 19 September 2025).
Pewarta : Setiawan Wibisono

Selamat pagi, salam satu pena, sahabat jurnalis semua🙏🤝