RI News Portal. Pesisir Selatan, 7 Desember 2025 – Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas sekitar 50 hektar di wilayah Kecamatan Basa Ampek Balai (BAB) Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, diduga telah dialihfungsikan dan diperjualbelikan secara ilegal oleh mantan Wali Nagari ( J ) setempat. Informasi ini mencuat dari keresahan masyarakat yang menyaksikan aktivitas pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit di kawasan hutan negara tersebut.
Dalam penelusuran lapangan yang dilakukan tim independen bersama perwakilan organisasi masyarakat sipil pada akhir November 2025, ditemukan satu unit excavator mini sedang beroperasi membuka lahan di tengah kawasan HPK. Alat berat tersebut diduga digunakan untuk menggali parit sekaligus membuka akses baru menuju perkebunan kelapa sawit yang telah ada.
Ketika tim mendatangi mantan Wali Nagari BAB Tapan untuk meminta konfirmasi, yang bersangkutan awalnya enggan memberikan keterangan. Setelah didesak, ia akhirnya bersedia berbicara di hadapan pewarta Eri Can, Sami S, Safani serta perwakilan LSM Saipul dan Jabpris Yapar.

“Saya hanya minta tolong alat berat untuk membersihkan parit di depan lahan saya. Lahan ini sudah bersertifikat lengkap,” ujar mantan Wali Nagari tersebut. Ia mengklaim memiliki dokumen hak milik atas sebagian lahan di kawasan HPK yang sedang dibuka.
Namun, sumber masyarakat yang enggan disebutkan namanya menyatakan sebaliknya. “Sudah puluhan hektar sawit yang ditanam di sana atas nama dia dan keluarganya. Semua tahu itu kawasan hutan negara, tapi tetap dijual-belikan,” ungkap sumber tersebut.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, Hutan Produksi Konversi tetap merupakan kawasan hutan negara yang dikelola secara eksklusif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Setiap bentuk penguasaan, pembukaan, atau peralihan hak di HPK wajib memperoleh izin tertulis dari KLHK.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada Pasal 15 mengatur bahwa melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Peraturan Menteri LHK Nomor P.10/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2021 menegaskan bahwa alih fungsi HPK menjadi perkebunan atau kepemilikan pribadi hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan atau izin pinjam pakai yang sah, sesuai Rencana Kehutanan Tingkat Nasional.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa sertifikat hak milik atas tanah di kawasan hutan negara baru sah apabila telah diverifikasi bersama antara KLHK dan Badan Pertanahan Nasional. Sertifikat sepihak yang tidak melibatkan KLHK tidak memiliki kekuatan hukum di kawasan hutan.
Tim investigasi independen menyatakan akan memverifikasi keabsahan sertifikat yang diklaim mantan Wali Nagari tersebut melalui permohonan informasi publik kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Pesisir Selatan dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sumatra Barat.
Temuan awal ini juga akan disampaikan secara resmi kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera serta Polres Pesisir Selatan untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangan masing-masing.
“Kami akan kawal hingga tuntas. Jika terbukti ada alih fungsi dan peralihan hak secara ilegal di kawasan HPK, maka ini merupakan bentuk perusakan hutan yang terstruktur dan harus diproses hukum,” tegas salah satu anggota tim investigasi.
Hingga berita ini diturunkan, mantan Wali Basa Ampek Balai (BAB) Tapan ( J ) belum dapat kembali dimintai konfirmasi terkait luas pasti lahan yang dikuasai serta asal-usul sertifikat yang diklaimnya.
Pewarta: Sami S

