
RI News Portal. Sintang, Kalimantan Barat – Praktik penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar kembali terkuak di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, menyoroti celah pengawasan dalam distribusi energi nasional. Pada 14 September 2025, sekitar pukul 09:16 WIB, seorang sopir truk tangki milik PT Bota Makmur Perkasa, mitra Pertamina, tertangkap basah diduga melakukan “kencing” atau penjualan ilegal BBM subsidi di sebuah warung pinggir jalan di Desa Laman Raya, Kecamatan Sungai Tebelian, Kabupaten Sintang.
Kejadian ini terungkap melalui dokumentasi video dan foto oleh tim media lokal serta aktivis LSM, yang menunjukkan truk bernomor polisi KB 8513 FA berhenti di gudang belakang warung milik seorang warga berinisial S. Dalam rekaman tersebut, terlihat tiga jeriken yang diduga telah diisi solar subsidi, dengan tetesan minyak masih mengalir dari tangki truk. Solar tersebut dijual seharga Rp10.000 per liter kepada penampung, yang kemudian dijual kembali ke masyarakat dengan harga lebih tinggi untuk keuntungan pribadi.
Pemilik warung, S, yang juga diduga sebagai penampung ilegal, mengakui bahwa sopir berinisial I telah berulang kali melakukan praktik serupa, tidak hanya di lokasinya tetapi juga di tempat lain. “Sudah sering kali kencing, bukan hanya di sini saja,” ujar S saat diwawancarai tim media. Namun, upaya pembungkaman muncul ketika S mencoba menyuap awak media untuk menghapus rekaman dan tidak memberitakan insiden tersebut, sebuah tindakan yang semakin memperburuk citra transparansi dalam kasus ini.

Kasus ini bukanlah yang pertama di Kalimantan Barat, di mana penyelewengan BBM subsidi sering kali melibatkan sopir tangki yang memanfaatkan celah distribusi. Modus operandi yang umum meliputi pembukaan segel atau kran pembuangan tangki sebelum mencapai tujuan resmi, pengisian ke jeriken atau drum, dan penjualan ke penadah. Praktik ini tidak hanya merugikan negara melalui hilangnya subsidi yang ditanggung APBN, tetapi juga memperburuk kelangkaan BBM bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti petani dan nelayan yang bergantung pada solar subsidi.
Dari perspektif hukum, tindakan ini melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 55, yang mengatur larangan penyalahgunaan pengangkutan dan niaga BBM bersubsidi. Pelaku dapat dijerat pidana penjara hingga 6 tahun dan denda mencapai Rp60 miliar, tergantung pada skala pelanggaran. Selain itu, penyimpanan ilegal tanpa izin usaha dapat dikenai pidana hingga 3 tahun penjara dan denda Rp30 miliar, sementara pengangkutan ilegal hingga 4 tahun penjara dan denda Rp40 miliar.
Baca juga : Persaingan Ketat di Musyorkot KONI Padangsidimpuan: Saat Pemimpin Kota Berubah Menjadi Rival Olahraga
Bambang Iswanto, Ketua Litbang YLBH-LMRRI sekaligus Koordinator Wilayah TINDAK Indonesia, mengecam keras kejadian ini sebagai bentuk pelanggaran sistemik. “Ini bukan sekadar kesalahan individu, tapi menunjukkan kurangnya pengawasan dari Pertamina dan mitranya. Kami mendesak aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian untuk bertindak tegas, serta Pertamina untuk mengevaluasi kinerja PT Bota Makmur Perkasa,” katanya. Iswanto menambahkan bahwa timnya akan segera melaporkan kasus ini ke Polda Kalimantan Barat untuk diproses hingga pengadilan, guna menciptakan efek jera bagi pelaku lain.

Penyalahgunaan BBM subsidi seperti ini mencerminkan masalah struktural dalam kebijakan energi Indonesia. Subsidi BBM yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun sering kali tidak tepat sasaran, dengan estimasi kerugian negara akibat penyelewengan mencapai ratusan miliar rupiah. Di Kalimantan Barat saja, kasus serupa telah berulang, termasuk penimbunan solar subsidi untuk dijual ke industri ilegal seperti tambang dan perkebunan sawit. Penelitian dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menunjukkan bahwa kurangnya teknologi pengawasan seperti GPS real-time pada truk tangki dan verifikasi digital di SPBU memperbesar risiko. Dampaknya tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial: masyarakat miskin semakin sulit mengakses BBM murah, sementara inflasi energi lokal meningkat.
Kasus ini menekankan perlunya reformasi pengawasan, termasuk kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan masyarakat sipil. Sementara penyelidikan berlanjut, publik diharapkan waspada dan melaporkan praktik ilegal serupa untuk mendukung keadilan distribusi sumber daya nasional.
Pewarta : Lisa Susanti
