RI News Portal. Semarang, 21 November 2025 – Investigasi independen yang berlangsung selama hampir dua bulan mengungkap adanya pola penyimpangan yang terindikasi sistematis dalam pengelolaan rumah toko (ruko) di Pasar Dargo, Kota Semarang. Temuan ini tidak hanya menyingkap ketidakpatuhan administratif biasa, melainkan mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik yang dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran hukum administrasi negara sekaligus berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Pasar Dargo, yang merupakan aset daerah di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pasar Dargo, memiliki puluhan unit ruko yang seharusnya didistribusikan melalui mekanisme daftar tunggu berbasis prinsip keadilan dan transparansi. Namun, penelusuran mendalam terhadap dokumen, wawancara dengan puluhan pedagang, serta verifikasi lapangan menunjukkan sebaliknya.
Salah satu temuan paling mencolok adalah terdapatnya ruko-ruko yang sudah ditempati secara penuh oleh pihak-pihak yang tidak tercantum dalam daftar pemohon resmi tahun 2023–2024. Para pemohon yang telah melengkapi seluruh persyaratan administratif—termasuk surat rekomendasi lingkungan dan bukti identitas—mengaku hingga kini tidak pernah mendapat kepastian hukum atas pengajuan mereka.

Sebaliknya, sejumlah penghuni ruko yang ditemui di lapangan mengakui memperoleh kunci secara langsung dari pengelola tanpa melalui proses verifikasi daftar tunggu. Lebih jauh, sebagian besar di antara mereka tidak dapat menunjukkan Surat Perjanjian Pemakaian Ruko (SPPR) maupun bukti pembayaran retribusi resmi—dokumen yang wajib ada sesuai Peraturan Daerah Kota Semarang tentang Pengelolaan Pasar Rakyat.
Kondisi ini secara hukum bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak (AUPB), khususnya asas keterbukaan, asas kepastian hukum, dan asas kesamaan perlakuan dalam pelayanan publik (Pasal 4 dan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Investigasi juga menemukan fenomena penguasaan massal ruko oleh satu atau beberapa pihak dalam satu blok yang sama. Beberapa pedagang kecil menyebut adanya “pemain besar” yang menguasai hingga lima unit ruko sekaligus, sementara pedagang lama dengan nomor antrean resmi justru terus menunggu tanpa kejelasan.
Ketika ditelusuri, tidak satu pun dokumen resmi—baik berupa berita acara serah terima, SPPR, maupun surat keputusan penunjukan penyewa—yang dapat diperlihatkan untuk membuktikan legitimasi penguasaan tersebut. Di saat yang sama, muncul kesaksian berulang dari pedagang berbeda yang menyebut pernah diminta “uang koordinasi” atau “uang terima kasih” dengan nominal Rp3–25 juta per unit ruko sebagai syarat memperoleh tempat.
Baca juga : Trailer Pertama The Hunger Games: Sunrise on the Reaping Dirilis, Ungkap Wajah Baru Haymitch Abernathy
Meskipun bukti transfer atau kwitansi belum berhasil diperoleh karena sifat transaksi yang tertutup, konsistensi pola kesaksian dari narasumber yang tidak saling kenal memperkuat dugaan adanya praktik pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo. Pasal 423 KUHP.
Upaya memperoleh data resmi daftar pemohon, daftar penyewa aktif, dan status ruko kosong dari pengelola Pasar Dargo selalu kandas. Penjelasan yang diberikan adalah bahwa data tersebut bersifat “internal” dan “tidak untuk publik”. Sikap ini secara tegas bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menggolongkan informasi pengelolaan aset daerah sebagai informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta.
Akibat ketertutupan ini, publik dan pemohon sah tidak memiliki sarana untuk mengontrol apakah prinsip first come first served benar-benar diterapkan, sekaligus membuka celah bagi praktik kolusi dan nepotisme.
Jika temuan ini ditindaklanjuti melalui pemeriksaan resmi, terdapat sejumlah ketentuan hukum yang dapat diterapkan:
- Hukum Administrasi
- Pelanggaran berat AUPB (UU 30/2014)
- Penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 UU 30/2014)
- Sanksi kepegawaian berdasarkan PP 94/2021 hingga pemberhentian tidak dengan hormat
- Hukum Pidana
- Pasal 12 huruf e UU Tipikor (pemerasan oleh pegawai negeri)
- Pasal 3 UU Tipikor (penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara)
- Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor (pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri terkait jabatannya)

Kerugian keuangan negara berpotensi muncul dari hilangnya pendapatan retribusi ruko yang tidak tercatat secara resmi, yang nilainya dapat mencapai ratusan juta rupiah per tahun.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala UPTD Pasar Dargo, Dinas Perdagangan Kota Semarang, maupun Inspektorat Kota Semarang belum memberikan tanggapan resmi atas temuan tersebut. Beberapa pedagang yang enggan disebut namanya menyatakan rasa pesimis bahwa akan ada tindakan tegas tanpa tekanan publik yang lebih besar.
Untuk mengembalikan integritas pengelolaan aset publik di Pasar Dargo, langkah-langkah berikut dinilai mendesak:
- Audit khusus oleh Inspektorat dengan melibatkan BPKP terhadap seluruh proses distribusi ruko sejak 2022
- Publikasi terbuka daftar pemohon, daftar penyewa, dan status ruko secara daring dalam waktu maksimal 14 hari
- Pembentukan sistem antrean digital berbasis aplikasi yang dapat diakses publik
- Pencabutan kewenangan distribusi ruko dari kepala pasar dan dialihkan ke tim independen di bawah Dinas Perdagangan
Tanpa langkah korektif yang tegas, praktik serupa berpotensi berulang di pasar-pasar tradisional lain di Semarang dan kota-kota lain di Indonesia. Kasus Pasar Dargo menjadi cermin betapa rapuhnya sistem pengelolaan aset daerah ketika prinsip good governance dan rule of law tidak ditegakkan secara konsisten.
Masyarakat dan pemohon ruko yang merasa dirugikan kini memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk mengajukan keberatan administratif, permohonan informasi publik, bahkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila tetap tidak mendapat keadilan.
Pewarta : MM

