RI News Portal. Pesisir Selatan 11 November 2025 – Komunitas di Desa Silaut, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, sedang bergulat dengan krisis kepercayaan yang mendalam akibat dugaan penyelewengan dana yang dikumpulkan untuk menyelesaikan sengketa Hak Guna Usaha (HGU) nomor 08. Kasus ini, yang semula diharapkan menjadi jalan keluar bagi ribuan warga yang menggantungkan hidup pada lahan pertanian dan perkebunan, kini berubah menjadi sumber kekecewaan baru, dengan indikasi bahwa dana tersebut dialihkan untuk kepentingan pribadi, termasuk rekreasi di ibu kota.
Berdasarkan temuan investigasi independen yang melibatkan wawancara mendalam dengan puluhan warga dan analisis dokumen internal komunitas, praktik pengumpulan dana dimulai sekitar pertengahan tahun ini. Sejumlah individu yang dikenal sebagai tokoh lokal mendekati keluarga-keluarga di Silaut dengan narasi bahwa mereka memiliki akses langsung ke jaringan relawan pendukung presiden terpilih, Prabowo Subianto, berinisial AP, yang berbasis di Jakarta. Janji utama adalah mediasi resmi untuk merevisi batas HGU 08, yang diduga mencakup ratusan hektare lahan adat dan produktif milik warga, sehingga dapat dikembalikan untuk pengelolaan komunal.
Setiap kepala keluarga diminta berkontribusi antara Rp2 juta hingga Rp5 juta, tergantung luas lahan yang diklaim terdampak. Total dana yang terkumpul diperkirakan mencapai miliaran rupiah, mengingat populasi Silaut yang mencakup lebih dari 1.500 rumah tangga. “Kami yakin ini kesempatan emas karena disebut-sebut ada dukungan dari tingkat nasional,” kata seorang petani berusia 52 tahun yang enggan disebut namanya, seraya menunjukkan bukti transfer bank yang masih disimpan sebagai barang bukti.

Namun, pasca-pengumpulan, delegasi yang berangkat ke Jakarta pada Agustus lalu gagal menunjukkan kemajuan substantif. Tidak ada laporan resmi tentang pertemuan dengan pihak berwenang terkait Badan Pertanahan Nasional atau kementerian terkait. Sebaliknya, muncul laporan dari saksi mata bahwa sebagian dana digunakan untuk akomodasi mewah dan kunjungan ke objek wisata seperti Ancol dan Monas. “Dana yang seharusnya untuk biaya hukum dan transportasi advokasi malah habis untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan perjuangan kami,” ungkap sumber lain dari kalangan pemuda Silaut, yang mengaku memiliki rekaman percakapan telepon sebagai pendukung.
Analisis lebih lanjut mengungkap pola yang mengkhawatirkan: tidak adanya mekanisme akuntabilitas transparan, seperti laporan keuangan berkala atau kwitansi resmi, yang seharusnya menjadi standar dalam inisiatif komunitas. Pakar hukum agraria dari Universitas Andalas, Dr. Rina Susanti, yang dihubungi secara terpisah, menyoroti bahwa kasus serupa sering kali memanfaatkan ketidakpahaman warga terhadap prosedur HGU. “HGU 08 sendiri merupakan sertifikat lama dari era 1980-an yang melibatkan perusahaan perkebunan, dan revisinya memerlukan proses formal melalui pemerintah daerah, bukan janji lisan dari relawan politik,” ujarnya, menekankan risiko penunggangan isu untuk kepentingan elektoral lokal.
Baca juga : Ariel Noah Nyanyikan “Separuh Aku” di Rapat Baleg DPR, Soroti Kebingungan Royalti bagi Penyanyi
Dampak sosial dari kejadian ini sudah terasa. Beberapa warga melaporkan peningkatan ketegangan antar-kelompok, dengan tuduhan saling lempar di antara tokoh masyarakat. Seorang ibu rumah tangga mengaku keluarganya kini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar setelah menyumbang, sementara lahan mereka tetap terancam alih fungsi. “Kami bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kepercayaan pada siapa pun yang mengatasnamakan perjuangan,” katanya.
Investigasi sedang berlanjut untuk mengidentifikasi alur dana secara rinci, termasuk pemeriksaan transaksi perbankan dan potensi keterlibatan pihak ketiga. Ada indikasi bahwa motif di balik ini melampaui keuntungan finansial semata, mungkin terkait ambisi politik menjelang pemilihan kepala daerah mendatang. Warga Silaut diimbau untuk membentuk forum independen guna mengawasi inisiatif serupa di masa depan, serta melaporkan temuan ke aparat penegak hukum setempat.

Kasus ini menjadi cermin dari kerentanan komunitas pedesaan terhadap eksploitasi di tengah sengketa lahan yang kronis. Tanpa intervensi cepat dari otoritas provinsi, harapan atas keadilan agraria di Pesisir Selatan berisiko pudar, meninggalkan luka yang lebih dalam bagi generasi mendatang.
Pewarta : SS (Red)

