RI News Portal. London – Dalam langkah yang berpotensi mengguncang dinamika hubungan bilateral, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dikabarkan sedang mempersiapkan kunjungan ke China pada akhir Januari 2026. Langkah ini, yang menjadi perjalanan pertama seorang pemimpin Inggris ke negeri Tirai Bambu sejak 2018, muncul di saat ketegangan keamanan antara kedua negara mencapai titik didih akibat serangkaian tuduhan spionase yang melibatkan elit politik Westminster.
Sumber dekat dengan pemerintahan Labour mengonfirmasikan bahwa perencanaan kunjungan tersebut telah memasuki tahap akhir, dengan agenda utama berfokus pada penguatan ikatan ekonomi dan investasi infrastruktur. Pemerintah Starmer, sejak naik tahta tahun lalu, telah menjadikan rekonsiliasi dengan Beijing sebagai prioritas strategis untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi pasca-Brexit. Namun, rencana ini langsung memicu kontroversi, mengingat badan intelijen Inggris baru-baru ini mengeluarkan peringatan darurat tentang ancaman spionase China yang menyasar parlemen dan sektor swasta.
Pada 18 November lalu, Menteri Keamanan Dan Jarvis menyampaikan laporan mengkhawatirkan di hadapan anggota parlemen: Badan kontraintelijen MI5 mendeteksi pola perekrutan agen yang sistematis oleh intelijen China. “Kelompok perwira intelijen Beijing sering menyamar melalui perusahaan penyamaran atau perekrut eksekutif eksternal untuk mendekati target,” ujar Jarvis, menekankan bahwa upaya ini tidak hanya mengancam keamanan nasional, tetapi juga integritas institusi demokrasi Inggris. Peringatan ini datang hanya dua hari setelah laporan intelijen yang lebih luas mengungkap serangan siber negara terkait China terhadap Komisi Pemilu Inggris pada 2021, yang menargetkan email para anggota parlemen.

Latar belakang kontroversi semakin gelap dengan “skandal spionase” yang meletus sepanjang 2025. Pada Oktober, Ketua Dewan Rakyat Lindsay Hoyle dikabarkan mempertimbangkan larangan kunjungan bagi perwakilan organisasi China ke gedung parlemen, sebagai respons terhadap dugaan transfer data rahasia oleh individu-individu Inggris yang memiliki akses istimewa. Kasus paling mencolok melibatkan dua warga negara Inggris, Christopher Berry dan Christopher Cash, yang dituduh menyalurkan informasi sensitif tentang dinamika internal Partai Konservatif kepada jaringan intelijen China.
Berry, seorang analis keuangan berbasis di Hangzhou yang pernah mengajar di China, diduga menerima komisi untuk menyusun 34 laporan tentang isu politik sensitif, termasuk spekulasi tentang pergeseran kekuasaan di Westminster dan strategi pertahanan terhadap potensi agresi di Selat Taiwan. Cash, mantan direktur China Research Group—sebuah kelompok pemikir skeptis terhadap Beijing—konon menjadi sumber subkontrak Berry, membagikan detail “off the record” seperti pertemuan rahasia antara pejabat Inggris dan delegasi Taiwan pada Mei 2025. Meskipun dakwaan di bawah Undang-Undang Rahasia Resmi 1911 akhirnya dibatalkan pada September karena kurangnya bukti kuat tentang “ancaman langsung” dari China, putusan itu justru memicu tuduhan bahwa pemerintah Starmer memprioritaskan perdagangan di atas keamanan.
Direktur Jaksa Mahkota (CPS) Stephen Parkinson menyatakan kekecewaan atas kegagalan penuntutan, sementara Kepala MI5 mengungkapkan frustrasi atas “aktivitas spionase berskala besar” yang terus berlanjut. “China tetap menjadi ancaman terbesar bagi keamanan ekonomi kita,” tegas seorang pejabat senior intelijen, yang menyoroti bagaimana jaringan perekrutan ini memanfaatkan hubungan pribadi yang dibangun melalui program pertukaran akademik dan bisnis.
Para kritikus oposisi, termasuk Shadow Menteri Luar Negeri Priti Patel, menyebut rencana kunjungan Starmer sebagai “sikap lunak yang berbahaya.” Patel menuduh pemerintahan Labour “berlutut di hadapan Xi Jinping,” terutama setelah penolakan rencana duta besar “super” China di London pada 2022—sebuah proyek seluas 20.000 meter persegi yang kini dikabarkan akan disetujui Starmer meski mendapat restu MI5 dan MI6. “Ini bukan diplomasi; ini adalah hadiah bagi musuh potensial,” tambahnya, menggemakan kekhawatiran dari kalangan intelijen bahwa kunjungan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai kemenangan propaganda bagi Partai Komunis China (PKC).
Di pihak lain, pendukung kebijakan Starmer berargumen bahwa isolasionisme hanya akan merugikan Inggris. “Ekonomi kita bergantung pada investasi asing, dan China adalah mitra dagang terbesar ketiga kita,” kata seorang penasihat ekonomi pemerintah, yang menekankan potensi kesepakatan bilateral untuk proyek energi hijau dan teknologi. Kunjungan ini, lanjutnya, bisa menjadi platform untuk dialog langsung tentang isu sensitif seperti hak asasi manusia di Xinjiang dan ketegangan di Laut China Selatan, meskipun riwayat pertemuan Starmer dengan Presiden Xi Jinping di KTT G20 November lalu menunjukkan nada yang lebih “konsisten dan hormat” daripada era Konservatif.

Sementara Kantor Perdana Menteri menolak mengonfirmasi rencana perjalanan, sumber internal menyatakan bahwa persiapan logistik telah dimulai, termasuk pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Li Qiang. Namun, dengan gelombang protes dari parlemen dan masyarakat sipil yang menuntut transparansi, kunjungan ini berisiko menjadi simbol kegagalan diplomasi—di mana ambisi ekonomi bertabrakan dengan realitas ancaman hibrida yang semakin nyata.
Para ahli hubungan internasional memperingatkan bahwa tanpa reformasi undang-undang spionase yang lebih ketat—seperti yang dijanjikan dalam audit kebijakan China pemerintahan Labour—langkah ini bisa melemahkan posisi Inggris di panggung global. “Starmer berada di persimpangan: apakah ia memilih pragmatisme ekonomi atau prinsip keamanan?” tanya Profesor Eleanor Albert dari King’s College London, yang meneliti dinamika spionase negara-negara adidaya. Jawabannya, tampaknya, akan menentukan arah hubungan Inggris-China untuk dekade mendatang, di tengah bayang-bayang yang semakin panjang dari intrik intelijen.
Pewarta : Anjar Bramantyo

