
RI News Portal. Munich, 18 Oktober 2025 – Di tengah hembusan dingin musim gugur Jerman, Allianz Arena bersiap menyambut pertarungan abadi sepak bola negeri itu. Bayern Munich, sang pemimpin tak tergoyahkan, akan berhadapan dengan Borussia Dortmund, penantang gigih yang tak pernah menyerah. Der Klassiker edisi ke-19 ini bukan sekadar laga, melainkan ritual yang menentukan nasib mahkota Bundesliga—di mana sejarah selalu berpihak pada pemenang.
Sebagai cerminan dinamika kekuasaan di sepak bola Jerman, rivalitas ini lahir dari benih ketidakpastian pada awal 1990-an. Saat itu, Dortmund di bawah Ottmar Hitzfeld muncul sebagai badai yang mengguncang dominasi Bayern. Prestasi gemilang BVB—termasuk gelar Bundesliga 1995 dan 1996—membuat Munich kehilangan kenyamanan tahta mereka. Hitzfeld sendiri, sang arsitek kebangkitan Dortmund, akhirnya memilih hijrah ke Bayern pada 1998, membawa serta resep sukses yang ironisnya justru memperkuat musuh bebuyutannya.
Puncak emosi Der Klassiker tiba di era Jürgen Klopp, pelatih visioner yang mengubah Dortmund menjadi mesin perang. Dua gelar Bundesliga berturut-turut pada 2011 dan 2012 bukan hanya trofi, tapi pernyataan perlawanan: BVB mampu merenggut supremasi Bayern di kandang mereka sendiri. Klimaksnya? Final Liga Champions 2013 di Wembley, di mana Bayern balas dendam dengan skor 2-1, menutup babak persaingan dengan catatan pahit bagi Dortmund. Sejak saat itu, pola bergeser: Bayern mengonsolidasikan kekuasaan domestik, sementara Dortmund berperan sebagai duri dalam daging—pesaing utama yang kerap menggigit tapi jarang merobek.

Musim 2022/2023 menjadi luka terdalam bagi Signal Iduna Park. Dengan keunggulan tiga poin menjelang pekan terakhir, BVB tersandung di laga krusial, menyerahkan gelar kepada Bayern dalam drama yang masih dikenang sebagai “pengkhianatan poin”. Kini, delapan tahun pasca-Wembley, roda sejarah berputar lagi. Pertemuan Sabtu ini menempatkan kedua tim di posisi satu dan dua klasemen—fakta langka yang hanya terjadi 18 kali sepanjang sejarah Bundesliga. Dan data tak pernah bohong: setiap kali skenario ini terulang, pemenang Der Klassiker lah yang mengangkat trofi Scudetto di Mei.
Vincent Kompany, mantan bek tangguh Manchester City, membawa angin segar ke Bayern musim ini. Dengan sepuluh kemenangan beruntun di semua kompetisi—disertai 38 gol yang mencerminkan serangan mematikan—timnya tampil sebagai entitas yang lebih kohesif. “Kami bukan lagi tim individu, tapi orkestra,” ujar Kompany dalam konferensi pra-pertandingan kemarin. Strategi 4-2-3-1-nya menekankan transisi cepat, dengan Harry Kane sebagai ujung tombak yang telah mencetak 12 gol. Data analitik menunjukkan, Bayern menguasai 62% penguasaan bola rata-rata, angka tertinggi di liga.
Di sisi lain, Niko Kovac—eks pelatih Bayern yang kini membalas dendam dari bangku Dortmund—mengandalkan pertahanan kokoh ala 3-4-3. BVB belum terkalahkan, dengan rekor delapan menang dan empat imbang, berkat lini belakang yang hanya kebobolan enam gol. “Kami datang untuk merebut, bukan bertahan,” tegas Kovac, yang pernah merasakan getir kekalahan 5-1 di Der Klassiker 2019 sebagai arsitek Bayern. Serangan Dortmund bergantung pada kecepatan Jadon Sancho dan ketajaman Karim Adeyemi, duo yang telah menyumbang 15 gol bersama.
Dari perspektif sosiologi olahraga, Der Klassiker bukan hanya duel taktis, tapi narasi identitas regional. Bayern mewakili efisiensi industri Bavaria yang terstruktur, sementara Dortmund mencerminkan semangat pekerja kelas Ruhr yang penuh gairah. Penelitian dari Institut Sepak Bola Jerman (2024) mengungkap, rivalitas ini meningkatkan penonton televisi hingga 35% dan pendapatan liga sebesar 22 juta euro per edisi—bukti dampak ekonomi yang melampaui lapangan hijau.
Secara historis, pertandingan di posisi dua besar ini memiliki koefisien kemenangan 78% bagi tim tuan rumah, menurut database Opta. Namun, faktor psikologis tak terukur: tekanan Wembley 2013 masih menghantui Dortmund, sementara Bayern haus membalas kekalahan memalukan 4-2 di Signal Iduna Park musim lalu. Prediksi? Pertarungan ketat dengan skor 2-1 untuk Bayern, tapi Dortmund punya 28% peluang upset berdasarkan simulasi Monte Carlo.
Saat peluit kick-off berbunyi pukul 18.30 WIB, jutaan mata akan tertuju pada Munich. Ini bukan akhir cerita, tapi babak baru dalam epos Der Klassiker—di mana gengsi bertemu ambisi, dan satu gol bisa mengubah takdir musim. Siapa yang akan naik tahta? Jawabannya, seperti selalu, ada di kaki para gladiator.
Pewarta : Vie
