
RI News Portal. Sragen 16 Juli 2025 – Aksi penolakan warga Dukuh Krujon, Desa Toyogo, Kecamatan Sambungmacan terhadap rencana pembangunan pabrik PT. Kwong Cheung Moulding menimbulkan diskursus baru mengenai keseimbangan antara kepentingan investasi dan perlindungan sosial-lingkungan di Kabupaten Sragen. Tidak dapat dipungkiri, gelombang penolakan tersebut memicu kekhawatiran investor dan menimbulkan persepsi negatif terkait iklim investasi di wilayah tersebut.
Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sragen, Ilham Kurniawan, menegaskan bahwa pihaknya terus mengawal proses perizinan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. “Kita menunggu konsultan menyelesaikan kajian lingkungan. Setelah selesai, hasilnya akan disosialisasikan kembali ke masyarakat. Kami mencoba menjembatani antara perusahaan dan masyarakat,” jelas Ilham, Selasa (15/7/2025).
Ilham tidak menampik bahwa dinamika ini menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah calon investor. “Mereka bertanya kok masyarakat Sragen ada penolakan seperti ini? Yang kondusif sebelah mana dan sebagainya. Saya jawab bahwa perusahaan masih berproses dan memang ada trauma dampak PT Blescon,” imbuhnya.

Trauma sosial yang dimaksud merujuk pada pengalaman masa lalu terkait keberadaan pabrik yang menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, sehingga memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap investasi industri.
Secara regulasi, Ilham menjelaskan bahwa izin pertama yang harus dipenuhi investor adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). “Kalau izin ini sudah karena wilayah Sambungmacan masuk dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan terdata di aplikasi. Jadi ketika mau beli lahan, sudah muncul status boleh atau tidak,” ujarnya.
Sebagai investasi Penanaman Modal Asing (PMA), kewenangan perizinan strategis berada di pemerintah pusat. Namun, pemerintah daerah tetap memegang peran krusial dalam proses verifikasi teknis, termasuk rekomendasi sosial-lingkungan.
Baca juga : Empat Saksi Ringankan Terdakwa Kasus Korupsi Mantan Wali Kota Semarang dan Suami dalam Sidang Tipikor
Di sisi lain, mayoritas warga Krujon menolak rencana pembangunan pabrik dengan alasan ketahanan pangan dan keselamatan lingkungan. Penolakan ini dituangkan dalam petisi yang ditandatangani oleh Ketua RW, Ketua RT 26–30, tokoh agama, dan tokoh pemuda setempat. Dari sekitar 300 kepala keluarga, 95 persen menyatakan keberatan.
“Mayoritas warga menolak karena lokasi pabrik terlalu dekat dengan pemukiman, kurang dari 100 meter. Ini melanggar Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010, yang diperbarui dengan Permenperin Nomor 13 Tahun 2025, yang mensyaratkan jarak minimal 2 kilometer,” tegas Nurlia Yusniar, perwakilan warga, Minggu (6/7/2025).
Selain itu, warga menilai pendirian pabrik di lahan produktif akan mengancam swasembada pangan dan memperparah tekanan lingkungan karena kawasan tersebut sudah dikelilingi sejumlah pabrik.
Fenomena ini mencerminkan ketegangan klasik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan sosial-lingkungan. Dari sudut pandang hukum, perizinan berbasis KKPR dan AMDAL menjadi instrumen utama dalam mewujudkan investasi yang berkelanjutan. Namun, keberadaan regulasi teknis seperti Permenperin 13/2025 tentang jarak minimal pabrik dari pemukiman menunjukkan pentingnya harmonisasi antara tata ruang, keselamatan masyarakat, dan hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945.
Dalam konteks tata kelola investasi, kasus Sragen menegaskan urgensi pendekatan partisipatif dalam proses perencanaan industri. Transparansi, konsultasi publik, dan mitigasi dampak sosial-lingkungan menjadi kunci agar pembangunan tidak menimbulkan konflik horizontal dan mencederai hak-hak masyarakat lokal.
Pewarta : Adiat Santoso
