RI News Portal. Wonogiri, 1 November 2025 – Di tengah hiruk-pikuk musim panen di lereng pegunungan Merapi, sebuah skandal korupsi keuangan desa di Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, terus mengguncang fondasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan lokal. Kejaksaan Negeri setempat kini memperluas cakupan penyelidikan terhadap dugaan penyelewengan dana desa senilai ratusan juta rupiah yang melibatkan Kepala Desa Sugihan, Murdiyanto, yang telah ditetapkan sebagai tersangka utama. Lebih dari sekadar kasus individu, penyidik mulai mengurai kemungkinan keterlibatan aktor lain, mengingatkan pada pola korupsi struktural yang sering kali melibatkan jaringan tak kasat mata di tingkat desa.
Seperti yang telah menjadi sorotan, Murdiyanto kini masuk dalam daftar pencarian orang setelah berulang kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Namun, di balik pelariannya, tim penyidik Kejaksaan Negeri Wonogiri, yang dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Hery Somantri, tidak tinggal diam. “Kami tidak hanya mengejar pelaku tunggal; korupsi seperti ini jarang berjalan sendirian,” ujar Hery dalam wawancara eksklusif, menekankan bahwa fokus utama adalah mengidentifikasi ‘aktor intelektual’ di balik skema tersebut. Pernyataannya ini menandai pergeseran dari penanganan kasus individual ke pendekatan yang lebih holistik, di mana potensi kolusi dengan pihak eksternal—seperti pemasok barang fiktif atau perantara keuangan—sedang digali lebih dalam.
Kasus ini bermula dari audit mendalam atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Sugihan selama periode 2022 hingga 2024. Modus operandi Murdiyanto terungkap melalui bukti digital yang mencengangkan: pesan-pesan di aplikasi percakapan yang memerintahkan bendahara desa untuk memanipulasi laporan keuangan. Handphone keduanya telah disita sebagai barang bukti utama, mengungkap pola pemaksaan yang sistematis. “Dia bukan hanya memanipulasi angka; dia membangun narasi fiktif untuk program-program yang tak pernah ada,” jelas Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Wonogiri, Gilang Prama Jasa, yang menambahkan bahwa mark-up anggaran kegiatan menjadi senjata utama dalam skema ini.

Kerugian negara yang dihitung mencapai Rp779,4 juta, dengan rincian Rp29 juta pada 2022, Rp480 juta pada 2023, dan Rp287,7 juta pada 2024. Meski ada pengembalian parsial sebesar Rp13,8 juta ke kas desa, nilai riil kerugian tetap menganga lebar, terutama karena adanya belanja di luar APBDes yang mencurigakan. “Ini bukan sekadar kesalahan administratif; ini adalah pengkhianatan terhadap mandat desa yang seharusnya melindungi warga pedesaan,” tegas Gilang, menggambarkan bagaimana dana yang dimaksudkan untuk infrastruktur dasar seperti irigasi dan pemberdayaan ekonomi justru lenyap ke kantong pribadi.
Yang membuat kasus ini semakin kompleks adalah indikasi keterlibatan pihak lain. Dalam dinamika korupsi keuangan desa, kepala desa seperti Murdiyanto tidak bisa beroperasi sendirian. Bendahara desa, misalnya, memegang kunci pencairan dana dari rekening kas umum, sementara persetujuan program fiktif sering kali memerlukan restu dari elemen eksternal seperti kontraktor atau bahkan oknum di tingkat kecamatan. Penyidik kini menyoroti peran bendahara yang diduga ditekan untuk mematuhi perintah, meski statusnya sebagai tersangka bergantung pada bukti niat jahat. “Jika terbukti ada kolusi untuk keuntungan pribadi, tidak ada yang kebal,” kata Hery, merujuk pada prinsip hukum pidana korupsi yang menekankan tanggung jawab bersama.
Upaya penangkapan Murdiyanto melibatkan koordinasi lintas lembaga, termasuk Kejaksaan Agung, kepolisian resort setempat, dan kodim wilayah. Foto identitas tersangka telah disebarkan secara luas, dengan imbauan kepada masyarakat untuk melaporkan keberadaannya. Sementara itu, di Desa Sugihan, suasana campur aduk. Warga yang dulu mendemo menuntut keadilan kini menanti penjabat kepala desa sementara, sambil mengeluhkan dampak nyata: insentif RT/RW yang mangkir, tagihan bank yang menggantung, dan proyek pembangunan yang terbengkalai. Seorang ketua RT setempat, yang enggan disebut namanya, berbagi kisah getir: “Dana yang seharusnya untuk kami, malah jadi utang. Ini bukan hanya soal uang; ini soal martabat desa.”
Baca juga : Mahasiswa Padangsidimpuan Geruduk Kantor Pemerintah, Tuduh Penyalahgunaan Dana Desa Capai Miliaran Rupiah
Dari perspektif lebih luas, kasus ini mencerminkan tren nasional yang mengkhawatirkan: korupsi dana desa yang merajalela di daerah pedesaan, di mana pengawasan lemah menjadi celah bagi elite lokal. Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret, Dr. (H.C.) Budi Santoso, menilai bahwa penyelidikan seperti ini harus menjadi momentum untuk reformasi. “Desa bukan lagi entitas otonom tanpa pengawasan; transparansi digital dan audit independen harus ditingkatkan untuk mencegah aktor intelektual bersembunyi di balik birokrasi,” katanya. Ia menambahkan bahwa kasus Wonogiri bisa menjadi preseden bagi penegakan hukum yang lebih tegas, di mana keterlibatan pihak ketiga—termasuk swasta—tidak lagi diabaikan.
Saat matahari terbenam di ufuk Bulukerto, harapan warga Sugihan bergantung pada kecepatan penyidik. Apakah Murdiyanto akan jatuh ke pelukan hukum, atau jaringan di baliknya akan terungkap lebih dulu? Yang jelas, skandal ini telah meninggalkan luka mendalam, tapi juga pelajaran berharga: di desa-desa kecil Indonesia, keadilan bukan hanya hak, tapi kebutuhan untuk bertahan. Penyelidikan berlanjut, dan Wonogiri menunggu babak selanjutnya.
Pewarta : Nandar Suyadi

