
RI News Portal. Jakarta. 14 September 2025 — Di tengah musim hujan yang semakin tak terduga, banjir yang melanda Bali baru-baru ini bukan sekadar bencana alam biasa. Menurut Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, peristiwa ini menjadi indikator jelas atas kerentanan sistem tata kelola lingkungan di wilayah tersebut. Dalam pernyataannya pada Minggu (14/9/2025), Hanif menyoroti bagaimana ketidakintegrasian pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir memperburuk dampak bencana, meskipun curah hujan ekstrem mencapai 245,75 milimeter hanya dalam satu hari.
Persoalan sampah, yang sering dianggap sepele, justru menjadi katalisator utama dalam memperbesar skala kerusakan. Hanif menjelaskan bahwa kebiasaan masyarakat membuang sampah secara sembarangan masih merajalela, menyebabkan tumpukan limbah menyumbat aliran sungai. “Akibatnya, debit air yang luar biasa besar gagal terserap, memicu banjir yang seharusnya bisa dicegah,” ujarnya. Pendekatan akademis terhadap isu ini mengingatkan kita pada konsep “ekosistem layanan” dalam ekologi, di mana gangguan pada satu elemen—seperti aliran air yang tersumbat—dapat meruntuhkan keseimbangan keseluruhan lingkungan.

Lebih lanjut, Menteri menyoroti ketidakmampuan fasilitas pengolahan sampah dalam menangani volume harian yang terus melonjak. Kurangnya pengawasan di daerah aliran sungai memperburuk situasi, dengan sampah plastik, organik, hingga material konstruksi menumpuk tanpa kendali. Dalam perspektif jurnalistik akademis, hal ini mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip “zero waste” yang telah menjadi diskursus global sejak dekade terakhir. Bali, sebagai destinasi pariwisata utama, seharusnya menjadi model, namun realitas menunjukkan sebaliknya: ketergantungan pada infrastruktur usang yang tidak mampu menyesuaikan dengan pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi.
Baca juga : Palembang Percepat Perbaikan Drainase Sungai Musi untuk Cegah Banjir Musiman
Hanif menegaskan bahwa solusi harus dimulai dari akar masalah, yaitu penyelesaian sampah di sumbernya. “Ini bukan lagi isu kebersihan semata, melainkan ancaman nyata bagi daya dukung lingkungan dan keselamatan manusia,” katanya. Pernyataan ini selaras dengan kajian interdisipliner di bidang lingkungan hidup, yang memandang sampah sebagai elemen dalam rantai kerentanan sosial-ekologis. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya bersifat material, tapi juga mengganggu stabilitas komunitas lokal, termasuk dampak psikologis pada korban banjir.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah tengah merancang langkah-langkah strategis yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Di antaranya adalah penguatan pengelolaan sampah berbasis komunitas, pembangunan fasilitas pengolahan modern di tingkat kabupaten/kota, serta integrasi penegakan hukum terhadap pembuangan ilegal. Hanif juga menekankan sinergi dengan sektor swasta dan kelompok masyarakat sipil untuk mengurangi timbunan sampah dari hulu. “Pendekatan ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular, di mana limbah diubah menjadi sumber daya baru,” tutupnya.
Pewarta : Jhon Sinaga
