RI News Portal. Subulussalam, 17 November 2025 – Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menggelar kunjungan kerja di Kota Subulussalam pada Senin ini, sebagai respons langsung terhadap laporan Walikota setempat yang disampaikan kepada BAM DPR-RI beberapa waktu lalu. Laporan tersebut menyoroti maraknya konflik agraria di berbagai titik wilayah, yang melibatkan perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat lokal.
Kunjungan ini dijadwalkan berlangsung mulai pukul 14.00 WIB di Aula LPSE Kantor Walikota Subulussalam. Acara dirancang secara sederhana, dengan fokus utama pada penyerapan aspirasi langsung dari warga terkait permasalahan lahan, termasuk konflik plasma dan pelanggaran regulasi oleh sejumlah perusahaan. Undangan resmi bernomor 400.14.1.1/170, yang ditandatangani langsung oleh Walikota Subulussalam, dialamatkan kepada berbagai pemangku kepentingan, antara lain Wakil Ketua dan Anggota DPRK Subulussalam, para asisten sekda, kepala badan perencanaan, keuangan, inspektorat, dinas tenaga kerja, pertanahan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, pertanian, serta seluruh camat dan kepala bagian setdako. Turut diundang pula Kepala Kantor Kementerian Agama, Komandan Subdenpom, Danki Brimob, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepala mukim di wilayah Batu-Batu, Penanggalan, dan Kombih, beserta Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), serta kepala kampung Binanga dan Pasar Rundeng.
Pihak perusahaan yang menjadi sorotan juga diundang, termasuk pimpinan PT Indo Sawit Perkasa (ISP), PT MSB, PT Laot Bangko, PT PAN, dan PT Sawit Panen Terus (SPT). Kehadiran BAM DPR-RI ini diharapkan menjadi momentum krusial untuk membuka dialog terbuka, mengingat laporan Walikota sebelumnya telah mengungkapkan kerumitan isu agraria yang berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Analisis mendalam terhadap kasus-kasus yang muncul menunjukkan pola pelanggaran sistematis. Misalnya, PT Sawit Panen Terus (SPT) hingga kini belum memperoleh Izin Hak Guna Usaha (HGU), meskipun terus beroperasi. Hal serupa dialami PT Laot Bangko, yang baru-baru ini terlibat sengketa dengan warga terkait penggalian parit gajah sebagai penanda batas lahan, disertai ketidakjelasan luas HGU. PT MSB, di sisi lain, diketahui menjalankan aktivitas penuh tanpa kelengkapan dokumen perizinan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Dampaknya terasa nyata: pencemaran sungai dari Rikit hingga Batu-Batu, serta polusi udara berupa bau menyengat yang mengganggu kesehatan dan kenyamanan penduduk sekitar.
Para akademisi dan pengamat agraria menilai bahwa konflik ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan antara korporasi dan komunitas adat, di mana regulasi nasional seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sering kali diabaikan demi ekspansi bisnis. “Kunjungan BAM DPR-RI ini bukan sekadar formalitas, melainkan peluang untuk merekomendasikan reformasi struktural, termasuk audit independen terhadap izin-izin perusahaan dan pemberdayaan mekanisme plasma yang adil,” ujar seorang pakar hukum agraria dari universitas negeri di Aceh, yang enggan disebut namanya karena sedang meneliti kasus serupa.
Warga Subulussalam, melalui perwakilan mereka, menyampaikan harapan agar forum ini menghasilkan tindakan konkret, bukan hanya catatan aspirasi. Beberapa di antaranya menuntut penghentian operasi perusahaan yang “kebal hukum” dan kompensasi atas kerugian lingkungan serta lahan. Kehadiran BAM DPR-RI di tengah isu-isu ini dianggap sebagai sinyal positif dari pusat kekuasaan legislatif untuk mendengar suara pinggiran, sekaligus mendorong penegakan hukum yang tegas.
Hingga berita ini diturunkan, acara masih berlangsung. Hasil penyerapan aspirasi diharapkan menjadi dasar rekomendasi ke pemerintah pusat, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, untuk penyelesaian berkelanjutan. Masyarakat berharap, kunjungan ini membawa pencerahan dan keadilan, mengakhiri siklus konflik yang telah meresahkan selama bertahun-tahun.
Pewarta: Jaulim Saran

