RI News Portal. Manado, 2 September 2025 – Gerakan mahasiswa di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Utara kembali menegaskan bahwa peran mahasiswa bukan sekadar sebagai agen kontrol sosial, melainkan juga sebagai pengawal moral bangsa. Pada demonstrasi yang digelar Senin (1/9) pukul 15.00 WITA, puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan kritik tajam kepada para anggota dewan terkait aspirasi masyarakat yang dinilai kerap diabaikan.
Dalam orasi mereka, mahasiswa menyinggung kasus yang sedang menjadi perhatian publik, yakni perjuangan seorang akademisi senior, Prof. Ing. Mokoginta, yang selama delapan tahun memperjuangkan haknya dalam dugaan kasus mafia tanah. “Di mana kepedulian kalian, para wakil rakyat? Padahal kasus ini sudah viral di media nasional maupun media sosial,” teriak salah seorang mahasiswa di hadapan aparat kepolisian yang turut mengamankan jalannya aksi.

Fenomena ini tidak sekadar mencerminkan ketidakpuasan atas pelayanan wakil rakyat, tetapi juga menyiratkan adanya krisis representasi. Mahasiswa menilai, DPRD Sulut seharusnya berfungsi sebagai kanal penyerap aspirasi rakyat. Namun, dalam kasus Prof. Mokoginta, mereka menilai lembaga legislatif seakan membisu. Kritik ini menegaskan bahwa institusi demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada simbol formal, tetapi wajib hadir secara substantif dalam menyelesaikan persoalan rakyat.
Seorang mahasiswa dalam orasinya menekankan, “Kami tahu para anggota dewan sudah mendengar kasus mafia tanah ini. Tetapi, mengapa keadilan masih harus diemis oleh seorang guru besar?” Pernyataan itu mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap institusi politik yang dianggap gagal memperlihatkan keberpihakan.
Dari perspektif hukum, kasus yang melibatkan Prof. Mokoginta menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan dalam persoalan agraria. Indonesia sejak lama menghadapi problem sistemik dalam pengelolaan tanah, mulai dari sengketa administratif hingga praktik mafia tanah yang merugikan warga. Dalam kerangka ini, aksi mahasiswa menjadi penting karena menuntut penegakan hukum yang lebih jujur, adil, dan tidak diskriminatif.’
Baca juga : Aksi Damai Cipayung Plus di Tapanuli Selatan: Refleksi Kritis Mahasiswa Terhadap Representasi Politik
Mahasiswa juga mendesak Presiden RI Prabowo Subianto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, serta Kapolda Sulawesi Utara Irjen Pol Royke Harry Langie, S.I.K., M.H. untuk turun tangan langsung. Tuntutan ini memperlihatkan bahwa mahasiswa menempatkan keadilan bukan hanya pada ranah lokal, melainkan sebagai agenda nasional yang harus direspons serius oleh pemerintah pusat dan aparat penegak hukum.
Aksi ini memperlihatkan peran mahasiswa sebagai kekuatan moral yang konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka tidak hanya menyoroti nasib Prof. Mokoginta sebagai individu, tetapi juga menjadikannya simbol perjuangan masyarakat kecil melawan struktur kekuasaan yang timpang. Dalam konteks akademis, gerakan ini dapat dipahami sebagai praktik etika publik—di mana mahasiswa mengartikulasikan kepentingan rakyat dengan bahasa keadilan, solidaritas, dan kebenaran.
Aksi di depan DPRD Sulut menandai bahwa demokrasi lokal masih menghadapi tantangan serius. Tuntutan mahasiswa untuk menghadirkan keadilan bagi Prof. Ing. Mokoginta adalah cerminan dari krisis kepercayaan terhadap lembaga perwakilan rakyat. Lebih jauh, aksi ini mengingatkan bahwa suara mahasiswa tetap menjadi bagian penting dalam menegakkan demokrasi substantif, terutama ketika rakyat merasa tidak lagi didengar oleh wakil-wakilnya.
Pewarta : Marco Kawulusan

