RI News Portal. Padang, 3 November 2025 – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa lanskap hukum Indonesia menghadapi ujian berat di tengah disrupsi teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan blockchain. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi hukum internasional yang digelar Universitas Andalas, Senin lalu, sebagai bagian dari upaya akademik mengintegrasikan teori hukum dengan realitas teknologi kontemporer.
Dalam paparannya, Yusril menggarisbawahi bahwa kompleksitas baru ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga filosofis. “AI dan blockchain bukan sekadar alat; mereka mere definisi ulang konsep tanggung jawab, bukti, dan yurisdiksi,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana algoritma AI dapat menghasilkan keputusan yang sulit dilacak asal-usulnya, sehingga menantang prinsip audi alteram partem dan transparansi yudisial.
Mahkamah Agung, lanjut Yusril, telah memulai langkah adaptif melalui e-court dan publikasi putusan daring. Namun, transformasi teknologi semata tidak cukup. “Perubahan paradigma yudisial—dari pendekatan tekstual ke pendekatan kontekstual-digital—menjadi keniscayaan,” katanya. Ia menekankan perlunya pengembangan doktrin hukum baru yang mampu mengakomodasi immutability blockchain sekaligus explainability AI, tanpa mengorbankan nilai keadilan substantif.

Fenomena “no viral, no justice” menjadi sorotan khusus. Yusril menganalisis bahwa amplifikasi media sosial menciptakan distorsi alokasi sumber daya penegakan hukum. Kasus viral menerima respons cepat, sementara kasus non-viral berisiko terpinggirkan. “Ini bukan hanya soal efisiensi, melainkan ancaman terhadap prinsip kesetaraan di muka hukum,” tegasnya. Ia mengusulkan pendekatan algorithmic triage berbasis data anonim untuk mengidentifikasi kasus prioritas tanpa bergantung pada viralitas.
Secara historis, Yusril menelusuri akar pluralisme hukum Indonesia sejak Proklamasi 1945. Warisan peraturan kolonial digantikan secara bertahap oleh fondasi Pancasila dan UUD 1945 hasil amandemen. Doktrin Soepomo, yang mengintegrasikan hukum adat, nilai budaya, dan moral agama, menjadi acuan untuk merumuskan respons terhadap tantangan digital. “Pluralisme ini memberi kita keluwesan untuk mengadopsi rule of law Barat tanpa kehilangan jiwa bangsa,” paparnya.
Baca juga : Bappenas Terima Dokumen Visi P4G 2027–2032: Kerangka Inovasi Rendah Karbon untuk Indonesia Emas 2045
Konferensi ini juga menghadirkan diskusi panel tentang potensi AI dalam mediasi sengketa adat dan penggunaan blockchain untuk registrasi tanah ulayat. Para akademisi sepakat bahwa Indonesia dapat menjadi laboratorium hukum digital di kawasan Asia Tenggara, asalkan regulasi mengimbangi inovasi.
Yusril menutup paparannya dengan seruan kepada generasi muda hukum: “Kita tidak hanya mengejar teknologi, tetapi juga memastikan teknologi melayani manusia—bukan sebaliknya.”
Pewarta : Sami S

