RI News Portal. Badung, 17 November 2025 – Pantai Kuta, salah satu landmark pariwisata Bali yang sejak dekade 1970-an dikenal sebagai magnet bagi wisatawan domestik dan internasional berkat pasir putihnya yang halus, panorama matahari terbenam yang mempesona, serta ombak ramah untuk peselancar pemula, kini menghadapi krisis lingkungan serius. Abrasi gelombang tinggi beberapa hari lalu telah meninggalkan jejak kerusakan signifikan, disertai tumpukan sampah yang belum tertangani, mengubah wajah pantai ikonik ini menjadi pemandangan yang memprihatinkan.
Pantauan langsung di lapangan menunjukkan bahwa garis pantai Kuta dipenuhi puing-puing abrasi bercampur sampah organik dan anorganik, mulai dari plastik, kayu apung, hingga limbah rumah tangga yang terbawa arus. Kondisi ini tidak hanya mengurangi estetika alamiah pantai, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan dan lingkungan jangka panjang. Fasilitas wisata yang biasanya lengkap—termasuk warung makan, penyewaan papan selancar, dan area istirahat—kini terancam terganggu oleh dampak pasca-abrasi ini.
Seorang pedagang lokal yang telah berjualan di kawasan tersebut selama puluhan tahun menggambarkan abrasi kali ini sebagai yang paling parah dalam ingatannya. “Ini yang terburuk sejak saya mulai berdagang di sini. Sampah menumpuk di mana-mana, terutama di pasir, padahal kami para pedagang rutin membersihkan area dagang kami sendiri setiap hari. Sebelum pulang, semua sampah dikumpulkan dulu untuk dibuang dengan benar,” katanya kepada tim lapangan, sambil memilih anonim untuk menghindari potensi konflik.

Pengamatan ini diperkuat oleh pengunjung setia, Aditya, yang ditemui pada Sabtu, 15 November 2025, saat melintas di dekat salah satu tumpukan sampah di wilayah Kuta, Kabupaten Badung. “Kondisi ini benar-benar mengganggu pandangan, apalagi saat berjalan di tepi pantai. Sebagai pengunjung, saya merasa tidak nyaman melihat objek wisata sekelas Kuta seperti ini,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa selain visual yang rusak, tumpukan sampah tersebut mulai memancarkan bau tidak sedap, terutama di bawah terik matahari siang. “Ini bisa merusak citra pantai secara keseluruhan, terutama bagi wisatawan mancanegara yang datang untuk menikmati keindahan alam. Jika dibiarkan, dampaknya akan lebih luas,” tegas Aditya.
Dari perspektif akademis, fenomena ini mencerminkan interaksi kompleks antara perubahan iklim, pengelolaan limbah pesisir, dan tekanan antropogenik di destinasi wisata massal. Studi lingkungan pesisir di Bali menunjukkan bahwa abrasi di Kuta bukanlah kejadian isolasi; faktor seperti naiknya permukaan air laut, hilangnya vegetasi penahan (seperti mangrove di wilayah sekitar), dan aliran sampah dari sungai-sungai hulu memperburuk situasi. Tumpukan sampah pasca-abrasi tidak hanya estetis, tetapi juga ekologis: polutan mikroplastik dapat masuk rantai makanan laut, mengancam biota pantai dan kesehatan manusia.
Baca juga : Dominasi Porami FC di Turnamen Batu Jung: Studi Kasus Sportivitas dan Kohesi Tim Lokal
Para pedagang dan pengunjung secara kolektif menyuarakan harapan agar otoritas terkait—termasuk pemerintah daerah dan instansi lingkungan—segera mengambil tindakan konkret. Upaya penanganan jangka pendek, seperti pengerahan tim pembersihan massal dan pengangkutan sampah, dianggap mendesak untuk memulihkan daya tarik pantai. Sementara itu, strategi jangka panjang seperti restorasi garis pantai melalui penanaman vegetasi tahan abrasi, peningkatan sistem pengelolaan sampah terintegrasi, dan edukasi masyarakat tentang pencegahan limbah, menjadi kunci untuk mencegah rekurensi.
Situasi di Pantai Kuta saat ini menjadi pengingat bahwa keindahan alam yang menjadi andalan pariwisata Bali rentan terhadap kelalaian pengelolaan. Tanpa intervensi cepat dan berkelanjutan, ikon wisata yang telah menarik jutaan pengunjung sejak era 1970-an ini berisiko kehilangan pesonanya, dengan implikasi ekonomi bagi ribuan pelaku usaha lokal. Pemantauan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan pemulihan yang holistik.
Pewarta : Kade NAL

