RI News Portal. Jakarta – Setelah lebih dari satu dekade menjadi wajah pencak silat di layar internasional, Iko Uwais resmi membuka babak baru dalam kariernya lewat debut penyutradaraannya, Timur. Film laga yang ia garap sekaligus dibintangi ini tidak lagi sekadar memamerkan atraksi fisik, melainkan menawarkan narasi yang lebih dalam tentang heroisme, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi orang lain.
Berbeda dari karya-karya sebelumnya yang kerap menempatkan koreografi pertarungan sebagai daya tarik utama, Timur mengambil inspirasi dari Operasi Mapenduma 1996 – peristiwa penyelamatan sandera di pedalaman Papua yang melibatkan Kopassus TNI. Iko Uwais dengan tegas menegaskan bahwa ia tidak ingin film ini menjadi alat narasi politik. “Saya hanya ingin bercerita tentang manusia yang memilih berani meski tahu risiko kematian sangat nyata,” ujarnya dalam wawacara eksklusif pasca-gala premiere.
Pendekatan tersebut terlihat jelas dari struktur cerita yang sengaja mengurangi jumlah adegan aksi demi memberi ruang bagi pengembangan karakter dan ketegangan psikologis. Hasilnya, penonton yang hadir pada penayangan perdana di bioskop pusat kota Jakarta beberapa waktu lalu mengaku terkejut melihat Iko Uwais versi sutradara: lebih terkendali, lebih sinematis, dan jauh dari kesan “hanya memukul dan menendang”.

Lahir di Jakarta pada 12 Februari 1983 dengan nama Uwais Qorny, Iko Uwais sejak kecil sudah akrab dengan pencak silat garapan keluarga betawi. Bakatnya terdeteksi sutradara Wales, Gareth Evans, yang kemudian mengorbitkannya lewat Merantau (2009), dilanjutkan duet maut The Raid (2011) dan The Raid 2 (2014). Nama Iko Uwais langsung menjadi jaminan mutu bagi film laga berbasis koreografi tangan kosong.
Karier Hollywood pun terbuka lebar. Ia tampil bersama Mark Wahlberg di Mile 22 (2018), berhadapan dengan Wu Jing dalam The Expendables 4 (2023), hingga menjadi bagian dari jagat Star Wars lewat serial The Mandalorian dan Skeleton Crew. Namun di balik sorotan lampu itu, Iko Uwais ternyata telah mempersiapkan langkah yang lebih berani: mengambil kendali penuh atas karya yang ia ciptakan.
Uwais Pictures, rumah produksi yang didirikan beberapa tahun lalu, menjadi kendaraan utama transisinya. “Saya ingin membuat film yang tidak hanya menghibur, tapi juga meninggalkan rasa hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sering kita lupakan,” tutur aktor yang menikah dengan penyanyi Audie Item sejak 2012 dan telah memiliki dua putri itu.
Para pengamat perfilman dalam negeri menilai Timur sebagai salah satu lompatan terbesar perfilman laga Indonesia dalam satu dekade terakhir. “Iko tidak lagi hanya menjual silat, ia sedang membangun bahasa sinematik baru yang mengakar dari identitas lokal namun tetap relevan secara universal,” kata seorang akademisi seni pertunjukan dari universitas negeri di Jakarta yang enggan disebut namanya.
Dengan Timur, Iko Uwais membuktikan bahwa seorang aktor laga dapat bermetamorfosis menjadi auteur sejati. Langkah ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa industri film Indonesia kini memiliki figur yang mampu berbicara dalam dua bahasa sekaligus: bahasa aksi yang menghentak dan bahasa kemanusiaan yang menggugat.
Pewarta : Vie

