RI News Portal. Jakarta, 9 Desember 2025 – Dalam sidang lanjutan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung (MA) secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap permohonan judicial review terhadap Pasal 81A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Agung. Dukungan ini menegaskan posisi MA bahwa penganggaran lembaga peradilan harus dilakukan secara mandiri, dengan Kementerian Keuangan hanya berperan sebagai fasilitator administratif semata.
Hakim Yustisial sekaligus Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Adji Prakoso, yang hadir sebagai pihak terkait dalam perkara Nomor 189/PUU-XXIII/2025, menegaskan bahwa mekanisme penganggaran saat ini masih memungkinkan intervensi eksekutif yang berlebihan. “Campur tangan tersebut secara nyata menghambat pelaksanaan program pembaruan peradilan dan pada akhirnya memperlambat akses masyarakat terhadap keadilan,” ujar Adji di hadapan majelis hakim konstitusi, Selasa (9/12).

Menurut Adji, proses penganggaran MA hingga kini masih mengikuti pola yang sama dengan kementerian/lembaga eksekutif: usulan dari satuan kerja di seluruh pengadilan dirangkum menjadi satu dokumen nasional, kemudian diserahkan kepada Bappenas dan Kementerian Keuangan untuk ditelaah dan ditetapkan pagu indikatifnya. Setelah itu baru dibahas dengan DPR melalui dua tahap rapat dengar pendapat, hingga akhirnya diterbitkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Praktik tersebut, kata Adji, secara konsisten menghasilkan pemotongan anggaran yang signifikan. Pada 2023, MA mengusulkan Rp17,6 triliun namun hanya mendapat Rp12,2 triliun. Tahun 2024, usulan Rp20,7 triliun dipangkas menjadi Rp11,8 triliun. Tren serupa berlanjut pada 2025 dengan usulan sekitar Rp20,3 triliun hanya terealisasi Rp12,6 triliun dalam DIPA.
“Angka-angka ini bukan sekadar selisih administratif, melainkan cerminan hilangnya kemandirian lembaga yudikatif yang seharusnya dijamin konstitusi,” tegas Adji. Ia menekankan bahwa keterbatasan anggaran tersebut menghalangi MA untuk menjalankan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, melakukan penyesuaian prioritas secara cepat, serta meningkatkan infrastruktur teknologi dan sumber daya manusia yang menjadi tuntutan masyarakat dewasa ini.
Baca juga : Polda Jateng Intensifkan Pengawasan Hibah Pembangunan Polsek Selogiri 2025
Dalam pandangan MA, Pasal 81A ayat (1) UU MA yang saat ini hanya menyebutkan “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam APBN” perlu dimaknai ulang secara konstitusional. MA mengusulkan agar pasal tersebut ditafsirkan bahwa anggaran diajukan langsung oleh MA kepada DPR untuk dibahas pada tahap pembicaraan pendahuluan RAPBN, dan hasil pembahasan itu hanya disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU APBN—tanpa lagi melalui proses review substantif oleh eksekutif.
Permohonan judicial review ini diajukan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa, Nurhidayat, serta Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum Indonesia, Irfan Kamil. Mereka tidak hanya menguji Pasal 81A UU MA, tetapi juga Pasal 9 UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara, dengan argumen bahwa ketidakmandirian anggaran yudikatif berpotensi menggerogoti independensi hakim hingga kualitas putusan.

Dukungan eksplisit MA terhadap pemohon dalam perkara ini menjadi catatan penting dalam sejarah hubungan antarlembaga negara. Untuk pertama kalinya, pimpinan tertinggi lembaga peradilan secara terbuka meminta Mahkamah Konstitusi memperkuat prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) melalui pengaturan anggaran yang lebih independen.
Sidang masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR sebagai pihak terkait lainnya. Putusan akhir atas perkara ini berpotensi menjadi tonggak baru bagi reformasi penganggaran kekuasaan kehakiman di Indonesia—menuju peradilan yang benar-benar mandiri, baik secara institusional maupun finansial.
Pewarta : Albertus Parikesit

