RI News Portal. Jakarta – Olphi Disya Arinda, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia yang berpraktik di Mayapada Medical Center Kuningan, menegaskan bahwa kesehatan mental yang optimal merupakan prasyarat penting bagi pengambilan keputusan finansial yang rasional dan berkelanjutan. Dalam paparannya pada sebuah diskusi temu media di Jakarta, Selasa (2/12), Disya menyatakan bahwa gangguan pada kondisi kejiwaan dapat secara signifikan mengubah cara seseorang menilai risiko, mengelola impuls, dan merencanakan masa depan keuangan.
“Pengambilan keputusan finansial tidak pernah terisolasi dari kondisi psikologis individu,” ujar Disya. “Ketika kesehatan mental tidak diprioritaskan, orang cenderung membuat pilihan yang tampak melegakan secara instan, tetapi justru merugikan di kemudian hari.”
Menurut Disya, individu dengan kesehatan mental yang stabil—ditandai oleh tidur berkualitas, pengelolaan stres yang efektif, serta keseimbangan emosi—memiliki kapasitas lebih baik untuk:
- Merumuskan rencana keuangan jangka panjang
- Menahan dorongan impulsif (impulse buying)
- Mengevaluasi risiko secara proporsional
- Berpikir strategis dan antisipatif

Sebaliknya, kondisi stres kronis atau akut dapat memicu distorsi kognitif yang ekstrem. Penelitian yang dirujuk Disya menunjukkan bahwa saat otak berada dalam mode “fight-or-flight” yang berkepanjangan, sistem dopaminergik menjadi hiperaktif dalam mencari reward cepat. Akibatnya, seseorang bisa menjadi terlalu berani mengambil keputusan berisiko tinggi (high-risk investment, pinjaman konsumtif berbunga besar) atau justru terlalu penghindar hingga menunda kewajiban dasar seperti membayar tagihan, menabung, atau berinvestasi.
“Stres membuat kita ingin segera keluar dari rasa tidak nyaman,” jelas Disya. “Belanja barang mewah yang tidak diperlukan, judi online, atau bahkan ‘retail therapy’ sering kali dipilih sebagai pelarian sementara. Padahal itu hanya ilusi kebahagiaan yang berujung pada penyesalan dan beban finansial baru.”
Disya juga menggarisbawahi bahwa kekayaan materi semata tidak cukup menjamin kesejahteraan jika tidak didukung kondisi mental yang sehat. “Banyak uang belum tentu membeli kebahagiaan jika pengelolaannya didorong oleh mekanisme kompensasi psikologis yang tidak sehat,” tegasnya.
Baca juga : Dualisme Pengaturan Desa: Antara Entitas Kultural dan Bagian Struktur Negara
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya mengintegrasikan literasi keuangan dengan literasi kesehatan mental sebagai dua sisi mata uang yang sama. Pola pengelolaan uang yang konsisten—seperti menyisihkan dana darurat, berinvestasi secara bertahap, dan menghindari utang konsumtif—hanya dapat terwujud ketika seseorang memiliki kapasitas regulasi emosi dan pengambilan perspektif jangka panjang yang memadai.
“Memprioritaskan kesehatan mental sebenarnya adalah bentuk proteksi finansial jangka panjang yang paling mendasar,” tutup Disya. “Kerugian terbesar sering kali bukan karena kurangnya informasi pasar, melainkan karena keputusan yang diambil dalam kondisi kejiwaan yang terganggu.”
Pernyataan ini semakin relevan di tengah meningkatnya kasus gangguan kecemasan dan depresi pasca-pandemi, yang turut berkorelasi dengan lonjakan utang rumah tangga dan perilaku konsumtif berlebihan di kalangan masyarakat urban Indonesia.
Pewarta : Anjar Bramantyo

