RI News Portal. Jakarta, 28 November 2025 – Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menafsirkan penerbitan rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam kasus ASDP sebagai sinyal keras bagi seluruh aparat penegak hukum untuk melakukan refleksi mendalam terhadap praktik penegakan hukum yang selama ini berjalan.
“Secara umum, kita mungkin bisa menafsirkan demikian. Tetapi dari situlah, dalam bernegara ini, kita harus melihat apakah para penegak hukum melihat sinyal yang diberikan Presiden ini seperti apa,” ujar Otto Hasibuan usai menemui Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat siang.
Menurut Otto, perbedaan pandangan yang tajam antara jaksa penuntut umum, penasihat hukum, dan terdakwa merupakan fenomena lumrah dalam sistem peradilan pidana. Setiap pihak, katanya, bekerja berdasarkan keyakinan dan alat bukti yang diyakini sah menurut versinya masing-masing. Pengadilan tetap menjadi institusi akhir yang menentukan kebenaran formil dan materil suatu perkara.

“Bisa saja jaksa meyakini suatu perbuatan memenuhi unsur pidana berdasarkan bukti A, B, C. Namun di persidangan, majelis hakim justru berkesimpulan sebaliknya karena penilaian yang berbeda terhadap bobot pembuktian yang sama,” jelasnya.
Namun, lanjut Otto, ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) masih menyisakan kegelisahan publik karena dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan substantif, maka kewenangan konstitusional Presiden menjadi relevan sebagai katup pengaman terakhir sistem hukum nasional.
“Dalam konteks itulah hak prerogatif Presiden untuk memberikan rehabilitasi muncul sebagai instrumen korektif. Presiden memiliki kewenangan menilai kembali secara holistik—bukan hanya aspek hukum formil, tetapi juga aspek keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan bangsa,” tegas Otto.
Baca juga : Penyelundupan Ore Nikel di Perairan Sultra Digagalkan KRI Pari-849, Muatan 10.005 Ton Diamankan
Ia menambahkan, penggunaan hak prerogatif tersebut bukanlah intervensi terhadap independensi yudikatif, melainkan pelaksanaan checks and balances konstitusional yang diatur Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Presiden, dalam hal ini, bertindak sebagai penjaga konstitusi yang memastikan tidak ada warga negara yang menjadi korban kesalahan fatal sistem peradilan.
“Di sini Presiden melihat mana yang baik, mana yang tidak. Ini kewenangan beliau untuk itu,” tandasnya.
Pernyataan Otto Hasibuan ini menjadi yang pertama dari level wakil menteri koordinator yang secara eksplisit menyebut rehabilitasi kasus ASDP sebagai “sinyal introspeksi” bagi jaksa, penyidik, dan hakim. Pengamat hukum tata negara menilai langkah Presiden tersebut berpotensi membuka diskursus baru mengenai batas-batas hak prerogatif kepala negara di era reformasi, sekaligus memaksa institusi penegak hukum melakukan evaluasi internal terhadap kualitas pembuktian dan sensitivitas terhadap rasa keadilan masyarakat.
Hingga berita ini diturunkan, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan Wamenko Kumham Imipas tersebut.
Pewarta : Setiawan Wibisono

