RI News Portal. Jakarta, 26 November 2025 – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan belum mampu memberikan perlindungan memadai bagi anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). Ia menilai negara masih lamban merespons kerentanan kelompok ini, terutama ketika negara lain mengklaim kewarganegaraan anak tersebut secara sepihak.
Pernyataan itu disampaikan Hikmahanto dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Kritis terhadap UU No. 12/2006 dalam Perspektif Hukum” yang digelar Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa) di Jakarta, Rabu (26/11).
“Anak-anak ini sering kali terjebak dalam limbo kewarganegaraan. Mereka memegang paspor Indonesia, besar di Indonesia, berbahasa Indonesia, namun tetap dianggap warga negara lain hanya karena salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing,” ujar Hikmahanto.
Ia mencontohkan kasus seorang anak kelahiran pasangan WNI-warga Singapura yang hingga kini masih diwajibkan menjalankan kewajiban militer di Singapura meskipun secara faktual dan administratif telah memilih status WNI. Upaya diplomatik Kedutaan Besar RI di Singapura, menurut Hikmahanto, belum membuahkan hasil yang signifikan.

“Pemerintah harus bersikap tegas. Pelindungan warga negara bukan sekadar retorika, tapi tindakan nyata di level bilateral dan multilateral,” tegasnya.
Hikmahanto menyoroti prosedur naturalisasi yang masih panjang dan berbelit, padahal banyak anak kawin campuran telah lama bermukim dan berakar di Indonesia. Ia mendorong amandemen UU Kewarganegaraan yang mengandung tiga prinsip utama: cepat, sederhana, dan realistis.
“Negara harus hadir secara aktif ketika anak-anak ini diklaim sebagai warga negara lain, terutama jika mereka sudah nyata-nyata beridentitas dan berkehidupan sebagai WNI,” tambahnya.
Data internal PerCa yang dipaparkan dalam forum yang sama menunjukkan problematikanya masih masif: dari 1.823 anggota terdaftar, 556 orang berstatus stateless (tanpa kewarganegaraan) dan 823 lainnya memiliki kewarganegaraan ganda yang berpotensi menimbulkan konflik hukum di kemudian hari.
Isu serupa pernah diketengahkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Andreas Hugo Pareira pada 1 Oktober lalu. Ia membandingkan sulitnya anak kawin campuran biasa memperoleh status WNI definitif dengan proses naturalisasi atlet asing yang relatif kilat.
Baca juga : Komisi Reformasi Polri Serap Aspirasi Aktivis Lingkungan dan Jurnalis: Tahap Krusial Penyusunan Rekomendasi
Menanggapi kritik tersebut, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Widodo menyatakan bahwa UU saat ini sudah memberikan ruang kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak kawin campuran hingga usia 18 tahun atau hingga menikah. Namun, ia tidak memaparkan langkah konkret untuk menyelesaikan kasus-kasus yang sudah melewati batas usia tersebut dan tetap terkatung-katung.
Hikmahanto menutup pernyataannya dengan harapan: amandemen mendatang tidak hanya menyempurnakan teknis administratif, tetapi juga memperkuat komitmen negara dalam melindungi setiap individu yang secara faktual telah memilih Indonesia sebagai tanah airnya.
“Standar pelindungan kewarganegaraan kita harus setara atau bahkan lebih baik daripada negara-negara lain. Itu bukan soal prestise, tapi soal keadilan bagi anak-anak kita sendiri,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi salah satu suara terkuat dari kalangan akademisi dan komunitas perkawinan campuran yang terus mendesak DPR dan pemerintah agar segera membahas Rancangan Perubahan UU Kewarganegaraan yang telah bertahun-tahun mangkrak di Prolegnas.
Pewarta : Vie

