RI News Portal. Jakarta, 25 November 2025 – Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menanggapi fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara berulang terhadap rumah tinggal dan lahan hunian tidak mencerminkan prinsip keadilan perpajakan. Dalam fatwa yang disahkan pada Musyawarah Nasional XI MUI akhir pekan lalu, MUI menegaskan pajak hanya boleh dikenakan pada harta yang bersifat produktif atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier, bukan pada kebutuhan pokok seperti tempat tinggal.
Menurut Rano Karno, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya telah memberikan berbagai bentuk keringanan yang bersumber dari penerimaan pajak daerah. “Sebetulnya Jakarta sudah banyak memberikan insentif. Sangat banyak. Banyak sekali,” ujarnya saat ditemui di sela kegiatan di Jakarta Barat, Selasa (25/11).

Ia merinci sejumlah kebijakan insentif yang masih berlaku tahun ini, di antaranya:
- Pembebasan PBB-P2 untuk rumah pertama dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp1 miliar,
- Penghapusan denda administratif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),
- Keringanan BPHTB khusus pembelian rumah pertama,
- Subsidi transportasi publik,
- Program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
“Insentif itu tidak hanya soal bangunan, tapi juga transportasi dan pendidikan. Komponen pajak yang kami terima justru dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan-layanan tersebut,” tambah Rano.
Meski mengakui adanya keluhan masyarakat terkait pungutan PBB yang berulang, Rano menegaskan bahwa kewenangan penetapan dan evaluasi besaran PBB berada di tangan pemerintah pusat. “Itu harus keputusan pusat. Pajak itu komponen pusat. Daerah hanya menjalankan apa yang sudah diatur undang-undang,” katanya.
Baca juga : Ketidaksesuaian Informasi dan Dugaan Manipulasi Data Warnai Penyaluran BLT di Manado
Ia menyatakan Pemprov DKI siap mengikuti apabila pemerintah pusat dan DPR melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema perpajakan yang dianggap memberatkan. “Kalau memang mau dievaluasi, ya harus dievaluasi. Kami akan ikut kebijakan pusat,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Fatwa MUI, Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa fatwa ini merujuk pada prinsip keadilan dalam Islam yang juga selaras dengan konstitusi Indonesia. Pajak, kata dia, hanya boleh dipungut dari wajib pajak yang memiliki kemampuan finansial memadai—minimal setara nishab zakat maal (85 gram emas). Rumah tinggal dan tanah tempat tinggal, menurutnya, termasuk kebutuhan pokok yang seharusnya dikecualikan dari beban pajak berulang.
MUI juga merekomendasikan peninjauan ulang pajak progresif yang dinilai terlalu tinggi serta menjadikan fatwa ini sebagai salah satu pedoman bagi pembuat kebijakan dalam merevisi peraturan perpajakan.
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait fatwa tersebut. Namun, isu keadilan perpajakan—terutama beban PBB terhadap rumah tinggal—diprediksi akan kembali menjadi sorotan menjelang pembahasan Rancangan APBN 2026 dan penyusunan peraturan daerah tentang pajak dan retribusi tahun depan.
Pewarta : Yudha Purnama

