RI News Portal. Semarang 22 November 2025 – Dalam waktu kurang dari dua bulan sejak diluncurkan, program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto telah menemukan bentuk implementasi paling masif di Provinsi Jawa Tengah. Bukan sekadar pemeriksaan rutin, program ini berjalan beriringan dengan inisiatif lokal “Dokter Spesialis Keliling” (Speling) yang diprakarsai Gubernur Ahmad Luthfi dan Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen, menciptakan model pelayanan kesehatan berjenjang yang langsung menjangkau desa-desa terpencil di 35 kabupaten/kota.
Hingga pertengahan November 2025, lebih dari 10,8 juta warga Jawa Tengah telah menerima layanan pemeriksaan kesehatan gratis. Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan kuratif berbasis rumah sakit menuju pencegahan dan deteksi dini yang berbasis komunitas.
Yang membedakan pendekatan Jawa Tengah adalah integrasi langsung dokter spesialis ke tingkat desa. Tim medis dari rumah sakit rujukan seperti RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan sejumlah rumah sakit lain diterjunkan bersama peralatan portable canggih, termasuk mesin rontgen digital yang dapat dipindahkan. Hasilnya, diagnosis yang biasanya memakan waktu berminggu-minggu kini dapat ditegakkan dalam hitungan hari, bahkan jam.

Temuan lapangan menunjukkan spektrum masalah kesehatan yang jauh lebih luas dari dugaan awal. Selain tuberkulosis — yang hingga 4 November 2025 telah terdeteksi 73.028 kasus atau 68% dari estimasi tahunan — program ini juga mengungkap beban kesehatan jiwa yang selama ini tersembunyi. Dari 5,9 juta orang yang menjalani skrining kejiwaan, lebih dari 61 ribu menunjukkan gejala depresi dan kecemasan berat. Angka ini menjadi sinyal penting bahwa krisis kesehatan pasca-pandemi tidak hanya bersifat fisik.
“Speling bukan sekadar membawa dokter ke desa, tetapi membawa negara ke tengah rakyat,” ungkap Gubernur Ahmad Luthfi. “Ketika seorang ibu di pelosok Boyolali bisa bertemu dokter spesialis kandungan dan langsung mendapatkan USG hanya beberapa kilometer dari rumahnya, itulah wajah negara yang hadir.”
Integrasi dengan program nasional juga berjalan mulus. Skrining tuberkulosis melalui Tes Cepat Molekuler (TCM) yang dilakukan bersamaan dengan CKG telah menemukan ratusan kasus resisten obat — temuan krusial yang memungkinkan penanganan sejak dini sebelum penyebaran meluas. Sementara itu, upaya penurunan stunting — yang prevalensinya di Jawa Tengah kini berada di 17,1%, lebih baik dari rata-rata nasional — mendapat penguatan melalui pemeriksaan anemia masal pada remaja putri dan intervensi gizi bagi ibu hamil berisiko KEK.
Apresiasi datang bukan hanya dari dalam negeri. Wakil Menteri Kesehatan Benjamin Paulus Octavianus, saat meninjau pelaksanaan di Boyolali dan Salatiga, menyebut model Jawa Tengah sebagai “blueprint yang bisa direplikasi nasional”. Bahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyerahkan penghargaan khusus kepada Provinsi Jawa Tengah sebagai wilayah dengan intervensi spesifik stunting terbaik kategori regional I tahun 2025.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, menekankan bahwa keberhasilan ini lahir dari kolaborasi lintas level. “Kader posyandu menjadi mata dan telinga program ini di lapangan,” ujarnya. “Mereka yang pertama kali mengidentifikasi warga yang perlu dibawa ke Speling, mereka pula yang memastikan pasien melanjutkan pengobatan setelah pulang.”
Di tengah euforia angka capaian, tantangan tetap ada. Distribusi tenaga spesialis yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa, logistik peralatan berat di daerah terpencil, hingga stigma masyarakat terhadap penyakit kejiwaan menjadi pekerjaan rumah berikutnya. Namun untuk pertama kalinya, sebuah provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan spesialistik berkualitas bukan lagi privilese kota besar.

Ketika seorang nenek di Desa Seboto, Boyolali, didiagnosis tuberkulosis paru dan langsung mendapatkan obat gratis di balai desa tempat ia biasa mengikuti pengajian, atau ketika seorang remaja putri di Salatiga mengetahui dirinya anemia berat dan langsung mendapat tablet tambah darah — di situlah janji konstitusional tentang kesehatan sebagai hak dasar warga negara mulai menemukan bentuk nyatanya.
Jawa Tengah, dengan segala keterbatasan anggaran dan geografisnya, sedang menulis babak baru dalam sejarah pelayanan kesehatan publik Indonesia: ketika negara tidak lagi menunggu warga datang ke rumah sakit, melainkan datang ke rumah warga.
Pewarta : Sriyanto

