RI News Portal. Beirut, 17 November 2025 – Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL) mengonfirmasi insiden penembakan yang melibatkan tank milik pasukan Israel terhadap personelnya di wilayah Lebanon selatan pada Minggu, 16 November 2025. Peristiwa ini menambah daftar panjang ketegangan di perbatasan yang telah berlangsung lebih dari setahun, meskipun adanya kesepakatan gencatan senjata yang seharusnya menjamin penarikan penuh pasukan Israel.
Menurut pernyataan resmi UNIFIL, peluru senapan mesin berat dari tank tersebut menghantam area sekitar lima meter dari sekelompok personel penjaga perdamaian yang sedang berpatroli kaki. “Para personel terpaksa mencari perlindungan darurat untuk menghindari risiko lebih lanjut,” demikian bunyi laporan tersebut. UNIFIL segera menghubungi pasukan Israel melalui saluran komunikasi penghubung yang telah ditetapkan, meminta penghentian segera tembakan. Untungnya, insiden ini tidak menimbulkan korban jiwa atau luka di kalangan pasukan PBB.
UNIFIL menilai kejadian ini sebagai “pelanggaran serius” terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701, yang disahkan pada 11 Agustus 2006. Resolusi tersebut dirancang untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Israel dan Hizbullah, kelompok bersenjata Syiah di Lebanon, dengan membentuk zona demiliterisasi antara Sungai Litani dan Garis Biru—garis batas demarkasi yang diakui secara internasional antara Lebanon dan Israel. Zona ini dimaksudkan sebagai buffer untuk mencegah eskalasi militer dan mendukung stabilitas regional.

Dalam konteks yang lebih luas, insiden penembakan ini mencerminkan pola ketegangan yang semakin memburuk sejak Oktober 2023. Serangan udara Israel ke wilayah Lebanon telah menjadi rutinitas hampir harian, dengan alasan utama menargetkan infrastruktur dan personel Hizbullah. Data yang dikumpulkan dari sumber independen menunjukkan bahwa operasi militer Israel di Lebanon telah menyebabkan lebih dari 4.000 kematian dan hampir 17.000 luka-luka, dengan puncak eskalasi terjadi pada September 2024 melalui serangan darat skala besar.
Kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani pada November 2024 menetapkan jadwal penarikan penuh pasukan Israel dari Lebanon selatan paling lambat Januari 2025. Namun, implementasi kesepakatan ini ternyata tidak merata: hanya sekitar separuh pasukan yang ditarik, sementara posisi militer Israel tetap dipertahankan di lima titik strategis sepanjang perbatasan. Keberadaan posisi-posisi ini tidak hanya melanggar ketentuan gencatan senjata, tetapi juga meningkatkan risiko konfrontasi langsung dengan pasukan penjaga perdamaian PBB.
UNIFIL, yang terdiri dari ribuan personel dari berbagai negara kontributor, telah berulang kali menyerukan penghentian “tindakan agresif” yang mengancam misi mereka. “Pasukan penjaga perdamaian berada di sini untuk mendukung pemulihan stabilitas yang menjadi tujuan bersama bagi Lebanon dan Israel,” tegas pernyataan UNIFIL. Misi ini juga menekankan pentingnya saluran komunikasi bilateral untuk mencegah salah paham yang dapat berujung pada korban sipil atau militer.
Baca juga : Pelanggaran Fatal Keselamatan Kerja di Rehab SMA Negeri 1 Purwantoro: Risiko Sistematis pada Proyek DAK 2025
Analis keamanan internasional menilai bahwa pelanggaran berulang terhadap Resolusi 1701 berpotensi melemahkan kredibilitas mekanisme perdamaian PBB di Timur Tengah. Sejak 2006, resolusi tersebut telah menjadi fondasi utama untuk menjaga gencatan senjata jangka panjang, tetapi tantangan implementasi—termasuk keengganan penarikan penuh dan serangan preemptif—telah menghambat kemajuan. Di tengah dinamika ini, UNIFIL terus memantau Garis Biru dengan patroli rutin, meskipun menghadapi risiko langsung seperti yang terlihat dalam insiden terbaru.
Pihak Israel belum memberikan respons resmi terhadap laporan UNIFIL hingga berita ini disiarkan. Sementara itu, pemerintah Lebanon melalui kementerian luar negeri telah menyampaikan protes diplomatik ke Dewan Keamanan PBB, menuntut investigasi independen dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran. Ketegangan di Lebanon selatan tidak hanya berdampak pada keamanan lokal, tetapi juga pada stabilitas regional yang lebih luas, di mana Hizbullah tetap menjadi aktor kunci dalam persamaan konflik.
Insiden ini menyoroti urgensi dialog multilateral untuk merevitalisasi Resolusi 1701. Tanpa komitmen penuh dari semua pihak, upaya perdamaian PBB berisiko menjadi sekadar dokumen historis di tengah siklus kekerasan yang berulang.
Pewarta : Anjar Bramantyo


Assalamualaikum..
Selamat siang untuk keluarga besar RINews portal
Selam satu pena