RI News Portal. Surabaya, 17 November 2025 – Film horor komedi Pesugihan Sate Gagak berhasil mencuri perhatian penonton nasional sejak penayangan perdananya pada 13 November lalu. Disutradarai oleh duo Dono Pradana dan Etienne Caesar, karya ini tidak hanya menyuguhkan campuran tawa dan tegangan dalam durasi 105 menit, tetapi juga menyisipkan kritik sosial terhadap godaan instan dalam mencapai kesuksesan. Keberhasilan awalnya tercermin dari ekspansi layar tayang menjadi 401 bioskop di seluruh Indonesia, dengan total 1.481 sesi pemutaran hingga saat ini.
Cerita berpusat pada tiga sahabat karib yang terjerat krisis keuangan. Dalam keputusasaan, mereka tergoda ritual pesugihan berbasis legenda urban “Sate Gagak”, yang diyakini menjanjikan kekayaan cepat melalui persembahan daging gagak. Namun, informasi ritual yang parsial membawa malapetaka: ketiganya berubah menjadi budak abadi bagi demit haus sate, yang terus menuntut imbalan semakin mengerikan. Perpaduan elemen mistis Indonesia dengan humor situasional menjadi kekuatan utama, sebagaimana dijelaskan Dono Pradana: “Kami mengangkat legenda urban yang masih hidup di masyarakat, tapi dibungkus komedi segar untuk menyentil realitas kehidupan.”
Pemeran utama diisi talenta mapan seperti Ardit Erwandha, Yono Bakrie, dan Benedictus Siregar, yang didampingi komedian kondang Nunung, Arief Didu, serta Yoriko Angeline. Kontribusi lokal Surabaya turut menonjol melalui Firza Falaza, Arif Alfiansyah, dan Rehan Satrio, mencerminkan upaya sutradara menggali bakat di luar pusat industri Jakarta. Penampilan Nunung menandai debutnya di genre komedi murni, dengan antusiasme yang luar biasa—ia bahkan membawa naskah ke mana-mana selama produksi.

Proses syuting tak luput dari anekdot menarik. Dalam satu adegan horor, pemeran pocong tiba-tiba ambruk seolah didorong kekuatan tak kasat mata. Yang mengejutkan, pemeran kuntilanak langsung bereaksi dengan menolong dan merapal mantra pengusiran setan, menciptakan momen absurd antara ketakutan dan kelucuan. “Itu jadi pengalaman unik yang memperkaya dinamika tim,” kenang Dono saat berbagi cerita dalam sesi nonton bareng dengan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Secara akademis, Pesugihan Sate Gagak dapat dibaca sebagai alegori kontemporer terhadap budaya “instan” di masyarakat Indonesia. Legenda pesugihan, yang sering dikaitkan dengan mitos Jawa dan Sumatra, direkonstruksi untuk mengkritik mentalitas shortcut dalam ekonomi digital dan kapitalisme cepat. Pesan moral Dono Pradana tegas: “Tidak ada kesuksesan tanpa proses. Hidup tak pernah instan; perjuangan adalah kunci.” Pendekatan ini selaras dengan tradisi sinema Indonesia pasca-reformasi, di mana horor komedi seperti karya Joko Anwar atau Anggy Umbara kerap menyiratkan satire sosial, namun di sini lebih menekankan nilai etos kerja lokal tanpa elemen politik eksplisit.
Baca juga : Penyelidikan Kematian Siswa SMPN 19 Tangsel Bergantung pada Analisis Medis Dokter Penanganan
Respons penonton yang antusias menunjukkan potensi genre hybrid ini dalam merevitalisasi bioskop pasca-pandemi. Dengan elemen budaya autentik dan humor berbasis karakter, film ini bukan sekadar hiburan, melainkan cermin reflektif bagi generasi muda yang tergoda janji cepat kaya. Ke depan, kesuksesan serupa diharapkan mendorong eksplorasi talenta regional lebih luas.
Pewarta : Wisnu H

