RI News Portal. Belém, Brasil – 12 November 2025 – Dalam sidang lanjutan Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, Indonesia kembali menegaskan posisinya untuk membentuk mekanisme pasar karbon internasional yang tidak hanya ketat secara lingkungan, tetapi juga inklusif bagi negara-negara berkembang. Fokus utama adalah pada Pasal 6.4 Perjanjian Paris, di mana delegasi Indonesia menyoroti risiko aturan kaku yang dapat menghambat inisiatif mitigasi berbasis ekosistem alam seperti hutan, gambut, dan mangrove.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, menyampaikan intervensi resmi pada sesi pembahasan laporan Badan Pengawas Mekanisme Pasal 6.4, Selasa (11 November 2025). Ia menekankan bahwa integritas lingkungan harus selaras dengan prinsip keadilan, sehingga negara-negara dengan sumber daya alam melimpah tidak terpinggirkan. “Pendekatan yang terlalu rigit, seperti penyesuaian baseline otomatis atau standar kebocoran universal, berisiko mereduksi efektivitas proyek-proyek berbasis alam yang menjadi pilar utama penurunan emisi global,” ungkap Haruni melalui pernyataan tertulis dari Jakarta pada Minggu lalu.
Intervensi Indonesia, yang mendapat dukungan dari delegasi Kosta Rika, Brasil, Norwegia, dan Inggris, mencakup beberapa rekomendasi kunci untuk merevisi kerangka metodologi. Pertama, penolakan terhadap penurunan baseline tahunan sebesar 1 persen secara otomatis, yang dinilai dapat membuat program seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), restorasi lahan, serta inisiatif karbon biru menjadi tidak feasible secara ekonomi. Kedua, permintaan akan evaluasi kebocoran yang berlandaskan data ilmiah spesifik konteks, bukan model global yang kaku, khususnya untuk aktivitas sektor lahan dan kehutanan.

Selain itu, Indonesia mengusulkan agar regulasi pasca-penerbitan kredit karbon dan instrumen penilaian risiko tidak mendiskriminasi kegiatan berbasis lahan, termasuk perlindungan mangrove dan ekosistem gambut. “Kami mendorong perpanjangan masa konsultasi publik dengan keterlibatan bermakna dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs), serta keterbukaan rapat Panel Ahli Metodologi untuk menjamin transparansi,” tambah Haruni.
Posisi ini juga menyerukan penguatan dukungan finansial internasional untuk pembangunan kapasitas dan transfer teknologi, memungkinkan negara berkembang berpartisipasi penuh dalam mekanisme tersebut. Sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati tinggi, Indonesia menyoroti peran krusial ekosistem mangrove dan gambut dalam mencapai target mitigasi global, yang sering kali diabaikan dalam diskusi teknis.
Pembahasan ini merupakan bagian dari agenda Item 15(b) pada Sidang CMA7, yang membahas laporan tahunan keempat Badan Pengawas. Meski belum mencapai kesepakatan final, diskusi informal dijadwalkan berlanjut untuk menyempurnakan rekomendasi yang diajukan.
Baca juga : Percepatan Penanganan Longsor Cibeunying: Koordinasi Klaster dan Dukungan Pemulihan Korban di Cilacap
Langkah Indonesia sejalan dengan komitmen nasional FOLU Net Sink 2030, yang menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sebagai penyerap karbon bersih pada akhir dekade ini. “Kami akan terus mengadvokasi aturan yang seimbang dan aplikatif, memastikan kontribusi negara berkembang seperti Indonesia—yang menyumbang signifikan bagi stabilitas iklim dunia—diakui secara adil,” tegas Haruni.
Dengan sidang COP30 yang masih berlangsung, intervensi ini menjadi sinyal kuat bahwa mekanisme Pasal 6.4 harus evolusi menjadi instrumen yang mendukung, bukan menghalangi, transisi hijau global yang inklusif.
Pewarta : Anjar Bramantyo

