RI News Portal. Wonogiri, 6 November 2025 – Di tengah hiruk-pikuk proyek infrastruktur pemerintah yang bernilai miliaran rupiah, sebuah perusahaan pemecah batu di Desa Giri Harjo, Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, terus beroperasi meski hanya mengandalkan izin lingkungan dasar. Mesin-mesin raksasa yang menggiling batu menjadi split untuk proyek peningkatan jalan Bulukerto-Poncol ini, kini menjadi sorotan karena ketidaklengkapan dokumen perizinan, memicu kekhawatiran akan praktik ilegal yang berpotensi merusak lingkungan dan menggerus kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek negara.
Sidak lapangan yang dilakukan akhir pekan lalu mengungkap bahwa operasi perusahaan milik Kris ini sempat terhenti sementara akibat sakitnya istri pemilik. Namun, sebelumnya, alat berat itu sibuk memproduksi material untuk kontrak pemerintah senilai puluhan miliar rupiah. Yang lebih mengkhawatirkan, pemilik usaha mengaku hanya memiliki Surat Persetujuan Lingkungan Hidup (sebelumnya dikenal sebagai HO atau Hasil Output), yang diterbitkan kecamatan beberapa tahun silam. Dokumen ini, menurut penjelasan Kasatpol PP Wonogiri Joko, bukanlah izin operasional khusus untuk pemurnian batu, melainkan hanya penilaian awal dampak lingkungan.
“Kami sudah konfirmasi langsung, dan ternyata yang dimiliki hanyalah izin lingkungan, bukan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan mineral,” ujar Joko saat dihubungi. Ia menambahkan bahwa Kris, yang baru saja mulai mendaftarkan perusahaannya, mengaku tidak mengetahui persyaratan lengkap. “Dia pikir surat dari kecamatan itu cukup untuk beroperasi. Sekarang, berkasnya sedang diurus, tapi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.”

Aspek paling mencurigakan adalah keterlibatan perusahaan ini dalam rantai pasok proyek negara. Kontraktor pemenang lelang peningkatan jalan Poncol-Bulukerto, yang dibiayai APBD dan dana pusat, ternyata bekerja sama dengan penyedia material yang minim dokumen. Aktivis lingkungan Gatot, dari kelompok pengawas masyarakat setempat, menyebut hal ini sebagai “lubang hitam” dalam pengawasan proyek. “Bagaimana kontraktor resmi bisa bermitra dengan usaha tanpa secarik pun izin pemurnian? Ini bukan hanya soal administratif, tapi juga sumber materialnya. Batu-batu itu harus dari tambang legal dengan rekomendasi khusus, bukan sembarang penggalian.”
Menurut Gatot, absennya Rekomendasi Pertambangan Khusus—dokumen yang wajib menyatakan asal-usul material dari wilayah pertambangan berizin—menjadikan operasi ini berstatus ilegal. “Tanpa itu, ada unsur pidana. Kami mendesak aparat penegak hukum untuk turun tangan, jangan sampai proyek miliaran tercemar praktik gelap.”
Secara hukum, operasi stone crusher seperti ini diatur ketat dalam kerangka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Undang-undang ini menekankan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, dengan tujuan melindungi sumber daya alam serta mendorong industrialisasi berkelanjutan. Pasal 103 secara eksplisit mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi—termasuk untuk kegiatan pemecahan batu—untuk melakukan pengolahan mineral secara bertanggung jawab, termasuk memastikan rantai pasok dari sumber legal.
Lebih lanjut, Pasal 170 memperkuat ketentuan ini dengan mengharuskan pemegang kontrak karya atau IUPK untuk memprioritaskan pemurnian domestik, di mana setiap kegiatan produksi harus didukung IUP Operasi Produksi Khusus. Tanpa dokumen ini, usaha pemurnian batu dikategorikan sebagai aktivitas ilegal, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Rekomendasi Pertambangan Khusus, yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjadi syarat mutlak untuk memverifikasi asal material dari tambang berizin, mencegah eksploitasi liar yang sering kali merusak ekosistem sungai dan lahan pertanian di daerah pegunungan seperti Wonogiri.
Dari perspektif pidana, pelanggaran ini dapat ditarik ke ranah Pasal 158 UU Minerba, yang mengancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda miliaran rupiah bagi pelaku usaha yang beroperasi tanpa izin. Kajian hukum terkini, seperti yang dibahas dalam Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (Volume 12, 2024), menyoroti bahwa kasus serupa di daerah Jawa Tengah sering kali berujung pada gugatan class action dari warga terdampak debu dan getaran mesin, yang melanggar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terhadap prinsip good governance,” tulis peneliti hukum tersebut, menekankan urgensi penertiban untuk mencegah eskalasi konflik sosial.
Kasus di Wonogiri ini mirip dengan insiden di Tulungagung tahun lalu, di mana stone crusher ilegal sempat memasok proyek jalan tol sebelum ditutup paksa oleh Satpol PP. Namun, bedanya, di sini keterlibatan proyek pemerintah membuatnya lebih kompleks, menuntut koordinasi lintas instansi.

Warga Desa Giri Harjo, yang rumahnya berjarak hanya ratusan meter dari lokasi operasi, mulai resah dengan debu tebal yang beterbangan dan suara gemuruh mesin yang mengganggu ketenangan malam. “Kami dukung pembangunan jalan, tapi jangan dengan mengorbankan kesehatan kami,” keluh seorang petani setempat, yang enggan disebut namanya.
Joko dari Satpol PP menegaskan bahwa timnya siap sidak ulang begitu operasi dilanjutkan. “Tapi ini tugas bersama. Dinas ESDM harus verifikasi sumber material, Dinas Lingkungan Hidup pantau dampaknya, dan Dinas Pekerjaan Umum pastikan kontraktor tidak main curang.” Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah telah mengirim surat peringatan, tapi penindakan tegas bergantung pada bukti operasi aktif.
Gatot menutup dengan nada optimis: “Kami harap ini jadi momentum untuk membersihkan rantai pasok infrastruktur. Pemerintah harus tegas, agar kepercayaan rakyat tidak pudar. Jangan saling lempar kewenangan—ini amanat undang-undang untuk kesejahteraan bersama.”
Sementara itu, Dinas ESDM Wonogiri belum merespons permintaan konfirmasi. Proyek Bulukerto-Poncol, yang ditargetkan rampung akhir tahun ini, kini berada di persimpangan: maju dengan risiko hukum, atau prioritas kepatuhan untuk pembangunan berkelanjutan.
Pewarta : Nandang Bramantyo

