
RI News Portal. Manado, 19 Oktober 2025 – Di lereng pegunungan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) bukan hanya merampok kekayaan alam, tapi juga menghancurkan fondasi kehidupan sehari-hari warga. Ruas jalan Soyowan, akses utama menuju Desa Moreah, kini berubah menjadi medan licin berlapis lumpur tebal hampir 10 sentimeter—sisa material tambang yang ditinggalkan truk-truk berat. Kondisi ini bukan sekadar ketidaknyamanan; ia menjadi ancaman nyata bagi keselamatan ratusan penduduk yang bergantung pada jalur itu untuk berladang, bersekolah, dan mencari nafkah.
Pelaku utama di balik kekacauan ini adalah Inal Supit, pengusaha lokal yang namanya kerap disebut-sebut sebagai dalang operasi PETI skala modern di kawasan Alason dan sekitarnya. Selama bertahun-tahun, operasinya—yang melibatkan ekskavator dan alat berat lainnya—telah meninggalkan jejak kerusakan tanpa ampun. Permukaan aspal yang retak dan tertutup endapan lumpur bukan hanya menyulitkan lalu lintas, tapi juga memicu insiden berbahaya. Beberapa bulan lalu, seorang pengendara motor terpeleset di permukaan licin tersebut, mengalami luka serius akibat jatuh. Meski laporan warga mengalir deras, pemerintah daerah Minahasa Tenggara tampak lumpuh: tak ada upaya perbaikan, tak ada sanksi tegas. Inal Supit sendiri, yang diketahui berkoordinasi dengan oknum setempat, belum pernah disentuh hukum atas kerusakan infrastruktur publik ini.
Yang lebih ironis, hasil jerih payah tambang ilegal ini justru berpindah tangan ke dunia hiburan malam. Sebuah rekaman video yang beredar luas menampilkan sosok yang diduga Inal Supit, mengenakan kaus bergaris putih-merah, berjoget riang sambil menyemprotkan uang kertas ke arah seorang penampil musik di sebuah klub malam. Aksi “saweran” itu, yang konon mencapai ratusan juta rupiah, menjadi simbol nyata ketidakadilan: sementara warga Moreah bergulat dengan jalan rusak yang menghambat akses ke pasar, keuntungan emas ilegal mengalir deras untuk kemewahan pribadi. “Dia boleh menghabiskan uangnya sesuka hati, tapi memperbaiki jalan yang rusak karena ulahnya adalah kewajiban moral dan hukum. Belum lagi royalti yang seharusnya masuk ke kas negara,” kata seorang aktivis hukum asal Sulawesi Utara yang enggan disebut namanya, setelah menyaksikan video tersebut.

Warga Desa Moreah, mayoritas petani dan ibu rumah tangga, tak henti menyuarakan keresahan. Seorang di antara mereka, yang memilih anonim demi keselamatan, mengirimkan rekaman kondisi jalan: lumpur kental menempel seperti selimut tebal, membuat ban kendaraan selip bahkan di hari kering. “Material ini dari tambang milik Inal. Truknya lewat setiap hari, meninggalkan jejak yang kami yang tanggung. Di musim hujan, ini seperti jebakan maut—satu salah langkah, nyawa taruhannya,” ujarnya. Data dari Dinas Lingkungan Hidup setempat memperkuat keluhan ini: sejak 2020, PETI di Ratatotok telah merusak lebih dari 100 hektare lahan hutan produksi, termasuk erosi sungai dan degradasi tanah yang mengancam pasokan air bersih desa.

Di balik kerusakan fisik, ada lubang finansial yang menganga bagi negara. Aktivitas PETI seperti milik Inal Supit merugikan miliaran rupiah setiap tahun dari hilangnya royalti, pajak daerah, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Meski ilegal, prinsip perpajakan tetap berlaku: setiap transaksi ekonomi, sekecil apa pun, wajib dilaporkan. Harianto, aktivis antikorupsi yang dikenal vokal dalam isu ekstraktif, menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Minerba membuka pintu bagi penagihan pajak retroaktif. “Bahkan usaha perorangan tanpa badan hukum pun bisa ditarik royalti-nya. Ini bukan soal legalitas semata, tapi keadilan: negara berhak atas bagiannya dari kekayaan alam yang dirampok,” tegasnya. Ia menambahkan, sanksi pidana di bawah UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) bisa mencakup denda hingga penjara bagi pengemplang, sementara pelanggaran lingkungan berujung pada penyitaan aset.
Baca juga : BAZNAS RI Sukses Salurkan 35.000 Paket Bantuan Indonesia ke Palestina di Tengah Gencatan Senjata
Penegakan hukum, bagaimanapun, tetap menjadi titik lemah. Meski Polda Sulawesi Utara telah menutup beberapa lokasi PETI di Ratatotok tahun ini—termasuk penyitaan ekskavator—operasi seperti milik Inal sering bangkit kembali, diduga didukung jaringan lokal. Komunitas masyarakat dan organisasi seperti BNUI (Badan Nasional Untuk Indonesia) siap menggelar aksi besar-besaran. Ketua BNUI, Stenly Sendow, menyerukan investigasi mendalam oleh Polda Sulut terhadap seluruh pelaku ilegal di Ratatotok. “Kami tak akan diam. Ini soal fasilitas negara yang dirusak, dan rakyat yang menderita. Saatnya aparat bergerak, bukan hanya tutup mata,” katanya.
Ratatotok, dengan cadangan emasnya yang melimpah, seharusnya menjadi berkah bagi pembangunan. Namun, di tangan pelaku seperti Inal Supit, ia berubah menjadi kutukan: jalan rusak sebagai metafor ketidakadilan yang lebih luas. Hingga kini, warga Moreah menanti keadilan—bukan janji kosong, tapi tindakan nyata yang mengembalikan infrastruktur mereka dan mengembalikan hak negara atas emasnya. Tanpa itu, ironinya akan terus berulang: emas yang dicuri tak hanya merampok tanah, tapi juga masa depan.
Pewarta : Marco Kawulusan
