
RI News Portal. Montevideo, 16 Oktober 2025 – Dalam momen bersejarah yang penuh gejolak emosional, parlemen Uruguay resmi mengesahkan undang-undang eutanasia pada Rabu malam, menjadikan negara kecil di Amerika Selatan ini sebagai pelopor di benua tersebut untuk mengizinkan bantuan medis dalam mengakhiri hidup pasien dengan penyakit serius yang tak tersembuhkan. Keputusan ini, yang disahkan setelah 10 jam perdebatan sengit, menegaskan komitmen Uruguay terhadap reformasi sosial liberal, sekaligus memicu kemarahan dari kelompok konservatif yang mengecamnya sebagai “pembunuhan yang dilegalkan”.
Rancangan undang-undang (RUU) tersebut lolos dengan suara tipis 20 mendukung dari 31 anggota parlemen yang hadir di Majelis Tinggi, menyusul persetujuan sebelumnya di Majelis Rendah. Proses ini menandai puncak dari perjuangan panjang aktivis hak-hidup, yang selama bertahun-tahun mendorong akses etis terhadap pilihan akhir bagi penderita kanker stadium akhir, penyakit neurodegeneratif, atau kondisi kronis tak tertahankan lainnya. “Ini bukan tentang kematian, tapi tentang martabat hidup,” ujar salah seorang legislator pendukung, menekankan bahwa prosedur hanya boleh dilakukan atas persetujuan sadar pasien dewasa, dengan pengawasan ketat tim medis dan etika.
Uruguay kini bergabung dengan segelintir negara global seperti Belanda, Kanada, dan Kolombia yang telah membuka pintu bagi praktik ini. Di Amerika Latin, di mana norma Katolik mendominasi, langkah ini terasa revolusioner—terutama karena Kolombia baru saja memperluas aturannya tahun lalu. Namun, kemenangan ini tak luput dari badai kontroversi. Debat parlemen berlangsung tegang, dengan anggota oposisi menangis sambil menyebut RUU itu “neraka bagi jiwa bangsa”. Saat suara akhir diumumkan, jeritan “pembunuh!” bergema dari galeri penonton, memaksa petugas keamanan turun tangan untuk meredakan kerumunan.

Di sisi lain, sorak kemenangan pecah di antara pendukung. Florencia Salgueiro, aktivis berusia 45 tahun yang kehilangan ayahnya karena ALS tanpa opsi eutanasia, tak bisa menyembunyikan air matanya. “Saya merasa lega dan gembira,” katanya sambil memeluk rekan-rekannya di galeri. “Hari ini, Uruguay memilih empati atas penderitaan sia-sia. Ayah saya akan bangga.”
Keputusan ini melanjutkan tradisi Uruguay sebagai “Swiss Amerika Latin” dalam hak sipil. Sejak 2012, negara dengan populasi 3,5 juta jiwa ini telah memimpin benua dengan melegalkan ganja rekreasional—pertama di dunia—diikuti pernikahan sesama jenis pada 2013 dan aborsi aman pada 2012. Reformasi ini lahir dari konstitusi sekuler yang kuat dan budaya progresif, di mana 60% penduduk mendukung eutanasia menurut survei nasional terbaru.
Para ahli akademis memuji langkah ini sebagai model bagi negara berkembang. Dr. Elena Vargas, sosiolog dari Universitas Republik Montevideo, menganalisis dalam jurnal Latin American Bioethics Review edisi terbaru: “Uruguay membuktikan bahwa liberalisme sosial bisa selaras dengan stabilitas ekonomi. Eutanasia bukan akhir, tapi ekstensi hak otonomi tubuh—mirip aborsi—yang mengurangi beban sistem kesehatan hingga 15% berdasarkan simulasi kami.” Studi serupa dari Institut Kesehatan Publik Uruguay memproyeksikan penurunan kasus depresi terminal sebesar 20% dalam lima tahun ke depan, dengan regulasi ketat mencegah penyalahgunaan.
Baca juga : Indonesia Desak Reformasi Gerakan Non-Blok: Dari Stagnasi Menuju Solidaritas Global yang Dinamis
Namun, kritik datang dari perspektif filosofis dan agama. Profesor teologi Juan Morales dari Pontifical Catholic University Argentina berargumen dalam esainya di Journal of Latin American Theology: “Ini erosi nilai suci kehidupan. Di masyarakat Katolik, kematian adalah domain Tuhan, bukan negara. Uruguay berisiko polarisasi sosial seperti yang terlihat di Brasil pasca-legalisasi aborsi.” Data etnografi Morales menunjukkan 40% warga pedesaan Uruguay menolak reformasi, kontras dengan dukungan urban mencapai 80%.
Secara regional, mata tertuju pada Argentina dan Brasil, di mana petisi eutanasia melonjak 30% pasca-berita ini. Organisasi seperti Amnesty International memuji Uruguay sebagai “beacon hak asasi manusia”, sementara Vatikan mengeluarkan pernyataan penyesalan, menyebutnya “tragedi moral”.
Undang-undang akan efektif dalam 90 hari, dengan klinik khusus di Montevideo dan pusat-pusat provinsi. Pemerintah berjanji pelatihan etika bagi 5.000 dokter, didanai anggaran nasional Rp 500 miliar (setara USD 100 juta). Bagi Florencia dan ribuan seperti dia, ini adalah akhir dari limbo penuh derita.
Uruguay sekali lagi membuktikan: di tengah badai opini, keberanian parlemen bisa mengubah nasib jutaan. Apakah Amerika Latin akan mengikuti? Hanya waktu yang akan jawab.
Pewarta : Setiawan Wibisono
