
RI News Portal. Jakarta, 16 Oktober 2025 – Di tengah tekanan global perubahan iklim yang kian mendesak, Pemerintah Indonesia menggelar kolaborasi strategis lintas sektor untuk memperkokoh Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sebagai instrumen utama mitigasi emisi nasional. Inisiatif ini melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kejaksaan Agung, serta Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dengan target membangun ekosistem pasar karbon yang adil, transparan, dan berkelanjutan—sebuah langkah inovatif yang menempatkan Indonesia sebagai pelopor transisi hijau di Asia Tenggara.
Dalam forum diskusi virtual bertajuk “NEK untuk Keadilan Iklim” yang digelar di Jakarta hari ini, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan urgensi kredibilitas NEK sebagai pondasi kolaborasi nasional. “Kita tidak hanya membangun sistem, tapi ekosistem NEK yang kredibel dan bisa dipercaya dunia. Dorongan utama kami adalah memastikan NEK berjalan adil dan transparan bagi semua pihak,” ujar Hanif, menambahkan bahwa inisiatif ini dirancang untuk menghindari jebakan pasar karbon yang rawan manipulasi.
Hanif juga memperingatkan risiko kecurangan dalam transaksi karbon lintas batas. “Sekali ada kecurangan, kepercayaan pasar global langsung runtuh. Indonesia tidak boleh terjerat skandal seperti yang dialami negara lain,” tegasnya. Pernyataan ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjaga reputasi pasar karbon nasional di panggung internasional, di mana transparansi menjadi senjata utama melawan greenwashing korporasi multinasional.

Menyoroti potensi unik wilayah maritim, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memposisikan karbon biru sebagai tulang punggung strategi NEK. “Ekosistem pesisir kita—seperti mangrove dan padang lamun—bisa menyerap emisi karbon hingga 50 kali lebih efisien daripada hutan daratan. Tata kelola karbon biru bukan hanya soal lingkungan, tapi juga memperkuat ketahanan pesisir dan kesejahteraan jutaan nelayan,” jelas Sakti.
Kolaborasi dengan IOJI di sini krusial: organisasi nirlaba tersebut akan memetakan kredit karbon biru berbasis data satelit dan komunitas lokal, memastikan manfaat ekonomi mengalir langsung ke masyarakat adat pesisir. “Ini bukan sekadar target emisi, tapi revolusi biru yang memberdayakan nelayan kecil menjadi aktor utama pasar global,” tambah perwakilan IOJI, menekankan model berbasis keadilan yang belum banyak diadopsi negara tropis lain.
Untuk menjamin implementasi tanpa celah, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan penyusunan pedoman khusus penegakan hukum lingkungan terkait NEK. “Kami akan membekali jaksa dengan standar profesional yang jelas, mulai dari investigasi hingga penuntutan kasus pencemaran karbon. Ini adalah perisai institusional agar NEK tetap kredibel secara hukum,” ungkap Burhanuddin.
Baca juga : Petani Jatipurwo Wonogiri Panen Tiga Kali di Musim Kering Berkat Program Padat Karya Irigasi Prabowo
Pedoman inovatif ini mencakup protokol digital untuk pelacakan transaksi karbon real-time, kolaborasi dengan KLHK untuk audit independen, dan pelatihan anti-korupsi bagi penegak hukum. “Tindakan tegas terhadap pelanggar akan jadi pesan kuat: Indonesia serius soal iklim, tanpa kompromi,” lanjutnya, merespons laporan IOJI tentang peningkatan kasus ilegal logging yang mengancam integritas NEK.
Langkah tripartit ini bukan hanya respons domestik, tapi juga strategi diplomatik untuk memperkuat posisi Indonesia di Paris Agreement. Dengan NEK yang terintegrasi, pemerintah menargetkan penurunan emisi 29% pada 2030—melebihi janji NDC sebelumnya—sambil membuka peluang ekspor kredit karbon senilai miliaran dolar. Kolaborasi lintas sektor seperti ini, yang unik karena melibatkan jaksa dan aktivis ocean justice sejak awal, membedakan Indonesia dari model top-down negara tetangga.
Para pakar iklim memuji inisiatif ini sebagai “blueprint Asia”: Dr. Rina Sari dari Universitas Indonesia menyebutnya “model holistik yang menggabungkan ekonomi, hukum, dan keadilan sosial, potensial jadi standar regional.” Sementara itu, IOJI berjanji monitoring independen untuk memastikan inklusivitas bagi komunitas marjinal.
Pemerintah optimis NEK akan jadi katalisator transisi hijau berkeadilan, di mana manfaat iklim tak lagi elitis. “Ini perjuangan bersama: dari Jakarta hingga pulau terpencil,” tutup Hanif. Forum hari ini menandai babak baru—Indonesia tak lagi mengejar, tapi memimpin aksi iklim global.
Pewarta : Yudha Purnama
