
RI News Portal. Kairo, 5 Oktober 2025 – Upaya baru untuk mengakhiri konflik berdarah di Gaza mendapat titik terang setelah Israel dan Hamas menyatakan dukungan terhadap rencana perdamaian yang diusulkan Amerika Serikat. Rencana ini bertujuan menghentikan permusuhan dan membebaskan sandera yang masih ditahan di Gaza. Meski begitu, ketidakpastian dan perbedaan pandangan antara kedua belah pihak masih menjadi hambatan menuju penyelesaian akhir.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan optimismenya, menyatakan bahwa Hamas tampak siap untuk “perdamaian yang langgeng.” Ia mendesak Israel menghentikan serangan udara di Gaza, sambil memperingatkan bahwa “semua opsi akan terbuka” jika Hamas tidak segera bertindak. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan harapan untuk segera mengumumkan pembebasan seluruh sandera dalam beberapa hari ke depan. Namun, ia menegaskan bahwa Israel tidak akan menarik pasukannya sepenuhnya dari Gaza, sebuah pernyataan yang memicu kekhawatiran akan kelanjutan negosiasi.
Pembicaraan tidak langsung antara Israel dan Hamas dijadwalkan berlangsung di Kairo, Mesir, pada Senin, 6 Oktober 2025, menjelang peringatan dua tahun konflik Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Rencana AS ini mencakup beberapa poin utama. Pertama, semua aksi permusuhan akan dihentikan segera. Dalam waktu 72 jam, Hamas diwajibkan membebaskan 48 sandera yang masih mereka tahan, dengan Israel memperkirakan 20 di antaranya masih hidup. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 250 warga Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup dan 1.700 tahanan Gaza lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, serta menyerahkan jenazah 15 warga Palestina untuk setiap jenazah sandera.

Setelah pelucutan senjata Hamas, pasukan Israel akan mundur dari Gaza, dan sebuah pasukan keamanan internasional akan dikerahkan untuk menjaga stabilitas. Gaza akan ditempatkan di bawah pemerintahan internasional yang diawasi oleh Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Administrasi sementara dari teknokrat Palestina akan mengelola urusan sehari-hari, sementara Hamas dilarang berpartisipasi dalam pemerintahan. Infrastruktur militer Hamas, termasuk jaringan terowongan, akan dibongkar, dengan amnesti ditawarkan kepada anggota yang bersedia hidup damai.
Rencana ini juga menjamin bahwa warga Palestina tidak akan diusir dari Gaza. Bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar akan dialirkan melalui badan-badan netral seperti PBB dan Bulan Sabit Merah. Namun, Hamas menyatakan bahwa beberapa aspek rencana ini, termasuk pelucutan senjata, memerlukan konsultasi lebih lanjut dengan faksi-faksi Palestina lainnya. Pernyataan mereka pada Jumat, 3 Oktober, menegaskan keterbukaan untuk menyerahkan kekuasaan kepada badan Palestina yang independen secara politik, tetapi tidak menyebutkan pelucutan senjata, yang menjadi syarat utama Israel.
Netanyahu menegaskan kesiapan Israel untuk memulai tahap pertama rencana, yaitu pembebasan sandera, namun ia tetap bersikukuh bahwa Hamas harus menyerah dan dilucuti senjatanya. Militer Israel telah diperintahkan untuk mempersiapkan implementasi tahap awal, meskipun Netanyahu menegaskan bahwa pasukannya akan tetap menguasai wilayah tertentu di Gaza. Ia juga menyebutkan bahwa pelucutan senjata Hamas akan dilakukan pada tahap kedua, baik melalui diplomasi maupun jalur militer.
Tantangan besar masih menghadang. Seorang pejabat Hamas, Osama Hamdan, menolak gagasan pemerintahan asing atas Gaza dan menyebut kehadiran pasukan internasional sebagai “tidak dapat diterima.” Selain itu, Hamas menyatakan kesulitan dalam menemukan jenazah beberapa sandera, yang dapat memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu. Ketidaksepakatan internal di kalangan Hamas juga menjadi kendala, dengan beberapa pejabat senior menekankan perlunya negosiasi lebih lanjut.
Rencana ini juga memicu perdebatan mengenai masa depan Gaza. Salah satu poin menyebutkan bahwa reformasi Otoritas Palestina di Tepi Barat dan kemajuan pembangunan kembali Gaza dapat membuka jalan menuju penentuan nasib sendiri dan kemungkinan status kenegaraan Palestina. Namun, Israel bersikeras mempertahankan “kehadiran perimeter keamanan” di Gaza, yang dapat diartikan sebagai zona penyangga, sebuah klausul yang ditentang keras oleh Hamas.
Di tengah negosiasi, mediator Arab sedang mempersiapkan dialog menyeluruh untuk menyatukan posisi faksi-faksi Palestina. Seorang pejabat Mesir, yang berbicara secara anonim, mengonfirmasi bahwa utusan AS Steve Witkoff akan memimpin tim negosiasi di Kairo, dengan delegasi dari Israel dan Hamas turut bergabung.
Di Gaza, warga seperti Arafa al-Amour, yang terpaksa mengungsi akibat perang, menyuarakan kelelahan dan harapan untuk segera mengakhiri konflik. Kelompok keluarga sandera di Gaza menyebut peluang reuni dengan orang-orang terkasih “belum pernah begitu dekat,” namun memperingatkan adanya upaya sabotase dari “ekstremis di kedua belah pihak.” Di Israel, dua menteri sayap kanan dari koalisi Netanyahu, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, mengkritik rencana ini, meskipun belum mengancam untuk mengguncang pemerintahan.
Meski ada secercah harapan, kenangan akan kegagalan negosiasi sebelumnya membuat banyak pihak tetap skeptis. Dengan negosiasi yang kompleks dan kepentingan yang saling bertentangan, jalan menuju perdamaian di Gaza masih penuh dengan rintangan.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
