
RI News Portal. Washington, DC 30 September 2025 – Di tengah konflik yang telah berlangsung hampir dua tahun di Jalur Gaza, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana damai 20 poin yang diklaimnya mampu mengakhiri apa yang disebut sebagai “perang genosida” Israel terhadap wilayah tersebut, sekaligus membebaskan seluruh sandera yang ditahan oleh kelompok Hamas. Pengumuman ini dilakukan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, menandai babak baru dalam diplomasi Timur Tengah yang sarat dengan ketidakpastian.
Trump, yang kembali menjabat setelah kemenangan pemilu 2024, menyatakan bahwa rencananya telah mendapat dukungan dari berbagai pihak regional, kecuali Hamas. “Sore ini, setelah konsultasi intensif dengan mitra di kawasan, saya resmi merilis prinsip-prinsip perdamaian yang, saya harus katakan, banyak disukai orang,” ujar Trump, seperti dikutip dari konferensi pers tersebut. Meski demikian, ketidakjelasan mengenai apakah Hamas telah menerima dokumen tersebut sebelum pengumuman resmi menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan implementasi.
Rencana ini muncul di tengah korban jiwa yang mencapai lebih dari 66.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, akibat operasi militer Israel yang didukung penuh oleh pemerintahan sebelumnya di bawah Joe Biden dan kini diperkuat oleh Trump. Dukungan AS mencakup pasokan senjata ofensif tanpa hambatan dan enam kali veto di Dewan Keamanan PBB terhadap resolusi gencatan senjata. Kondisi Gaza saat ini telah memicu pengungsian massal, krisis pangan, air bersih, dan penyebaran penyakit, yang memperburuk situasi kemanusiaan.

Dari perspektif akademis, rencana Trump ini dapat dibandingkan dengan “Deal of the Century” yang dia usulkan pada masa jabatan pertamanya (2017-2021), yang gagal karena dianggap bias terhadap Israel dan mengabaikan aspirasi Palestina untuk negara merdeka. Kali ini, Trump menekankan transformasi Gaza menjadi “zona bebas teror yang tidak mengancam negara tetangga,” sambil mendorong pembangunan kembali wilayah tersebut. Netanyahu, yang disebut Trump dengan nama panggilan “Bibi,” menyatakan dukungan penuh, meski menolak tegas ide pembentukan negara Palestina. “Beberapa negara secara gegabah mengakui negara Palestina. Beberapa kawan kita di Eropa. Mereka orang baik, tapi saya rasa mereka lelah dengan konflik puluhan tahun ini,” kata Trump, merujuk pada pengakuan negara-negara Eropa seperti Spanyol dan Irlandia.
Baca juga : Pemerintah Apresiasi Guru Lewat Insentif MBG: Langkah Strategis untuk Tingkatkan Gizi Generasi Muda
Reaksi regional beragam. Otoritas Palestina menyambut baik upaya Trump, menekankan komitmen reformasi seperti pemilu dalam satu tahun pasca-perang dan pembentukan kerangka politik tunggal. Perdana Menteri India Narendra Modi juga mendukung, menyebutnya sebagai “jalan layak menuju perdamaian berkelanjutan” bagi rakyat Palestina, Israel, dan kawasan Asia Barat yang lebih luas. Delapan negara, termasuk beberapa negara Arab, dilaporkan mendukung inisiatif ini, meski detailnya belum sepenuhnya terungkap.
Namun, dari sudut pandang kritis, rencana ini dianggap kurang memperhitungkan aspirasi kemerdekaan Palestina. Analis dari Al Jazeera menyoroti bahwa dukungan dari negara-negara Arab dan Islam mungkin mencerminkan kelelahan regional terhadap konflik, tapi tidak menjamin partisipasi Hamas, yang dianggap sebagai “kelompok pejuang kemerdekaan” oleh sebagian pihak. Di sisi lain, media seperti New York Post menekankan ancaman Trump bahwa jika Hamas menolak, Israel akan “menyelesaikan tugasnya” dengan dukungan penuh AS.
Pewarta : Setiawan Wibisono
