
RI News Portal. Semarang 25 September 2025 – Dalam sebuah perkembangan dramatis di perairan Mediterania Timur, pemerintah Italia telah mengerahkan kapal fregat angkatan lautnya untuk mengawal Global Sumud Flotilla (GSF), armada sipil yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza, setelah armada tersebut menjadi sasaran serangan drone misterius di laut lepas dekat Yunani. Insiden ini, yang terjadi pada Rabu malam (23 September 2025), telah memicu gelombang kecaman internasional dan menyoroti ketegangan geopolitik yang semakin memanas di wilayah tersebut, di mana upaya kemanusiaan sering kali bertabrakan dengan dinamika konflik yang berkepanjangan.
GSF, yang digambarkan sebagai konvoi sipil terbesar menuju Gaza sejak eskalasi konflik pada Oktober 2023, terdiri dari lebih dari dua lusin kapal yang membawa sekitar 300 aktivis dari 44 negara. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka seperti aktivis iklim Swedia Greta Thunberg, serta beberapa anggota parlemen Eropa dari berbagai negara, termasuk Polandia. Flotilla ini bertujuan untuk memecah blokade Israel terhadap Gaza, dengan membawa pasokan makanan, obat-obatan, dan peralatan medis yang sangat dibutuhkan di tengah krisis kemanusiaan yang melanda wilayah tersebut. Para peserta flotilla menekankan bahwa misi mereka bersifat damai dan berfokus pada solidaritas global, bukan konfrontasi politik.

Menurut rekaman video yang dirilis oleh penyelenggara GSF, serangan dimulai sekitar malam hari, dengan drone tak dikenal menjatuhkan benda-benda yang menyebabkan ledakan di salah satu kapal utama. Serangan ini juga disertai gangguan komunikasi yang signifikan, membuat armada kesulitan berkoordinasi. Seorang anggota parlemen Polandia yang ikut serta dalam flotilla melaporkan bahwa ini merupakan serangan ke-13 terhadap 10 kapal berbeda sejak keberangkatan mereka, dengan tiga kapal mengalami kerusakan parah. Situasi ini mengingatkan pada insiden sebelumnya di awal September 2025, ketika flotilla diserang drone saat berlabuh di Tunisia. Pemerintah Tunisia dengan tegas mengutuk serangan itu sebagai tindakan disengaja, meskipun Israel tidak memberikan konfirmasi atau penolakan resmi.
Respons Italia datang dengan cepat. Menteri Pertahanan Guido Crosetto langsung memerintahkan pengiriman kapal fregat sebagai bagian dari operasi keamanan maritim Mare Sicuro, yang biasanya difokuskan pada patroli di Mediterania. Crosetto menyatakan bahwa identitas pelaku serangan masih belum diketahui, tetapi menegaskan komitmen Italia untuk melindungi kebebasan navigasi di perairan internasional. Perdana Menteri Giorgia Meloni juga mengutuk insiden tersebut, meskipun ia menambahkan kritik terhadap flotilla itu sendiri, dengan mendesak agar bantuan diserahkan melalui saluran resmi untuk menghindari risiko lebih lanjut. Delegasi Italia di flotilla menyambut keputusan ini sebagai hasil dari tekanan publik dan gerakan solidaritas di Eropa, tetapi mereka menilai bahwa perlindungan militer saja belum memadai. “Yang paling krusial adalah keselamatan rakyat Palestina, bukan sekadar pengawalan kami,” ujar salah seorang delegasi, menyoroti dimensi kemanusiaan yang lebih luas dari misi ini.
Baca juga : Konflik Lahan di Nagari Silaut: Antara Hak Ulayat Masyarakat Adat dan Sertifikat HGU yang Dipertanyakan
Langkah Italia ini tidak berdiri sendiri. Spanyol juga mengumumkan pengiriman kapal perangnya untuk mendukung flotilla, sementara Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani telah menghubungi kedutaan besar di Israel untuk meminta jaminan keselamatan bagi armada yang berlayar di perairan internasional. Di tingkat internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan penyelidikan independen segera atas dugaan serangan ini, dengan menekankan bahwa penggunaan kekerasan terhadap misi kemanusiaan sipil tidak dapat dibenarkan. Komisi Eropa pun ikut bersuara, menyatakan keprihatinan atas eskalasi yang bisa mengganggu upaya perdamaian regional.
Insiden ini mencerminkan pola perang psikologis yang semakin canggih dalam konflik modern, di mana teknologi seperti drone digunakan untuk mengintimidasi aktor sipil tanpa atribusi langsung. Para aktivis di GSF menggambarkan serangan ini sebagai upaya untuk melemahkan semangat mereka, tetapi justru sebaliknya: “Ini hanya memperkuat tekad kami untuk melanjutkan,” kata salah seorang peserta. Analisis geopolitik menunjukkan bahwa flotilla seperti GSF tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap blokade, tetapi juga menguji batas hukum internasional maritim, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang menjamin kebebasan navigasi. Namun, dalam konteks konflik Israel-Palestina, upaya semacam ini sering kali memprovokasi respons yang mempersulit akses bantuan, meskipun didukung oleh opini publik Eropa yang semakin kritis terhadap kebijakan Israel.
Sementara flotilla melanjutkan perjalanannya di bawah pengawalan Italia, pertanyaan tentang identitas pelaku tetap menggantung. Beberapa sumber independen menduga keterlibatan Israel, mengingat pola serangan serupa di masa lalu, tetapi tanpa bukti konkret, tuduhan ini tetap spekulatif. Yang jelas, peristiwa ini telah memicu diskusi lebih luas tentang peran negara-negara Eropa dalam krisis Gaza, di mana solidaritas kemanusiaan bertemu dengan realitas diplomasi yang kompleks. Global Insight Journal akan terus memantau perkembangan ini, dengan fokus pada implikasi jangka panjang bagi hak asasi manusia dan stabilitas regional.
Pewarta : Setiawan Wibisono
