
RI News Portal. Jakarta, 17 September 2025 – Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Polda Metro Jaya pada Selasa (16/9), Komandan Pomdam Jaya, Kolonel Corps Polisi Militer (CPM) Donny Agus Priyanto, memaparkan secara rinci keterlibatan dua prajurit TNI AD dari satuan Kopassus, yaitu Sersan Kepala (Serka) N dan Kopral Dua (Kopda) F, dalam kasus penculikan dan pembunuhan M Ilham Pradipta (MIP). MIP, yang menjabat sebagai kepala cabang pembantu (KCP) sebuah bank di Jakarta Pusat, menjadi korban dalam skema kriminal yang diduga bertujuan memindahkan dana dari rekening dormant—rekening yang tidak aktif transaksi selama minimal tiga bulan—ke rekening penampungan yang telah disiapkan pelaku.
Penyidikan ini menyoroti bagaimana elemen militer terlibat dalam jaringan kejahatan sipil, sebuah fenomena yang jarang terungkap dan memunculkan pertanyaan tentang mekanisme pengawasan internal di institusi TNI. Berbeda dari liputan media konvensional yang sering fokus pada sensasi, analisis ini menekankan kronologi peristiwa sebagai basis untuk memahami dinamika kolaborasi lintas sektor dalam kejahatan terorganisir.
Keterlibatan Serka N dan Kopda F dimulai pada 17 Agustus, ketika tersangka JP—yang diidentifikasi sebagai bagian dari klaster otak penculikan—mendatangi rumah Serka N. JP menawarkan “pekerjaan” untuk menjemput seseorang guna dihadapkan kepada bosnya, yang disebut sebagai DH. Tawaran ini, menurut Donny, langsung diteruskan Serka N kepada Kopda F, rekan sesama anggota Kopassus, untuk membantu pelaksanaan.

Pertemuan lanjutan terjadi di sebuah kafe di Jakarta Timur, di mana Serka N, Kopda F, dan JP membahas detail operasi, termasuk imbalan finansial. Diskusi ini mencakup aspek logistik dan kompensasi, yang menunjukkan perencanaan yang terstruktur. Pada 19 Agustus sekitar pukul 09.30 WIB, Serka N menghubungi Kopda F kembali untuk mengonfirmasi kesediaan. Kopda F menerima tawaran tersebut dan segera mengumpulkan tim pendukung.
Donny menjelaskan bahwa Kopda F meminta dana operasional sebesar Rp5 juta, yang disetujui oleh Serka N dan bersumber dari JP. Ini menggambarkan alur dana yang mengalir dari otak pelaku ke eksekutor lapangan, sebuah pola umum dalam kejahatan berbasis jaringan.
Puncak persiapan terjadi pada 20 Agustus, ketika Serka N bertemu JP di sebuah bank di Jakarta Timur dan menerima Rp95 juta untuk biaya operasional penculikan. Uang tersebut langsung diserahkan kepada Kopda F di sebuah kafe di Rawamangun. Setelah menerima dana, Kopda F menghubungi EW, yang kemudian datang bersama empat rekannya—AT, JR, RA, dan satu lagi yang disebut EW—menggunakan mobil Avanza putih.
Baca juga : Investigasi Kematian Mahasiswa UNNES: Komitmen Transparansi Polda Jateng di Tengah Sorotan Publik
Sekitar pukul 13.45 WIB, JP memberikan informasi lokasi korban kepada Kopda F, yaitu di sebuah pusat perbelanjaan di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Kopda F dan timnya, termasuk EW dan yang lain, berhasil menculik MIP di parkiran Lotte Mart Pasar Rebo. Proses penculikan ini menandai transisi dari perencanaan ke eksekusi, dengan penggunaan kendaraan sebagai alat utama mobilitas.
Dalam perjalanan pasca-penculikan, Kopda F menelepon JP untuk menanyakan tim penjemput korban. Ancaman untuk menurunkan korban jika tidak segera dijemput menunjukkan ketegangan internal di antara pelaku. Mereka akhirnya sepakat bertemu di flyover Kemayoran, di mana korban dipindahkan dari Avanza putih ke Fortuner hitam. Di dalam Fortuner tersebut, terdapat Serka N, JP, dan U.
Saat dalam perjalanan, korban yang mulutnya telah dilakban melakukan perlawanan. Serka N turut memegangi korban, khususnya di bagian dada, untuk mencegah pemberontakan. Namun, tim penjemput tak kunjung tiba, sehingga korban dibawa ke Cikarang, Bekasi, dan akhirnya dibuang di area persawahan. Donny menggambarkan bahwa Serka N menghentikan mobil Fortuner di persawahan, kemudian memegang bagian kepala korban sementara JP mengangkat kakinya. Korban dibuang sekitar dua meter dari mobil, dan pelaku langsung meninggalkan lokasi.
Jasad MIP ditemukan di area persawahan Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, pada Kamis (21/8) pagi. Sehari sebelumnya, pada Rabu (20/8), korban diculik di parkiran pusat perbelanjaan kawasan Ciracas, Jakarta Timur. Penemuan ini memicu penyidikan gabungan antara polisi sipil dan militer.
Hingga kini, polisi telah menangkap 15 tersangka, termasuk Dwi Hartono, seorang pengusaha kaya asal Jambi yang dikenal sebagai “crazy rich” dan pemilik usaha bimbel online. Selain itu, Serka N dan Kopda F ditetapkan sebagai tersangka dari pihak TNI AD. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra, menyatakan bahwa motif utama adalah pemindahan dana dari rekening dormant ke rekening penampungan, sebuah skema finansial ilegal yang mengeksploitasi celah perbankan.
Kasus ini tidak hanya mengungkap jaringan kriminal yang melibatkan militer dan sipil, tetapi juga menyoroti potensi kerentanan dalam sistem keuangan dan pengawasan personel TNI. Dari perspektif akademis, peristiwa ini dapat menjadi studi kasus tentang bagaimana insentif ekonomi mendorong kolaborasi lintas institusi dalam kejahatan, dengan implikasi jangka panjang terhadap reformasi internal militer. Penyidikan terus berlanjut untuk mengungkap keterlibatan lebih lanjut, sementara masyarakat menanti akuntabilitas penuh dari semua pihak terkait.
Pewarta : Yudha Purnama
