
RI News Portal. Padangsidimpuan, 9 September 2025 – Di tengah ketegangan yang telah berlangsung bertahun-tahun antara masyarakat lokal dan perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL), ratusan warga dari Kecamatan Angkola Timur dan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat pada Senin, 8 September 2025. Aksi ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan manifestasi dari akumulasi konflik agraria yang telah merusak harmoni sosial-ekonomi di wilayah tersebut, mencerminkan dinamika ketidakadilan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pasca-reformasi.
Demonstrasi yang dimulai sekitar pukul 10 pagi itu menarik perhatian karena sifatnya yang terorganisir dan damai, dengan peserta yang terdiri dari petani, tokoh masyarakat, dan perwakilan keluarga korban dugaan intimidasi oleh PT TPL. Mereka membawa spanduk dan poster yang menyerukan keadilan, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan Batak yang simbolis, menekankan identitas budaya mereka dalam perlawanan terhadap korporasi. Menurut pengamatan lapangan, massa menuntut pertemuan langsung dengan Ketua DPRD Tapsel, Rahmat Nasution, untuk mendapatkan penjelasan atas berbagai isu yang mereka anggap sebagai pengkhianatan terhadap rakyat. “Kami bukan mencari konfrontasi, tapi kejelasan dan keadilan,” ujar salah seorang koordinator aksi yang enggan disebutkan namanya, menggarisbawahi esensi aspirasi mereka.

Konflik ini bukan hal baru; catatan sejarah menunjukkan bahwa PT TPL, yang dulunya dikenal sebagai PT Indorayon, telah terlibat dalam sengketa lahan dengan masyarakat Tapanuli Selatan sejak awal 2000-an, dengan puncak ketegangan pada 2013 dan berlanjut hingga 2024, di mana warga sering menggelar unjuk rasa menuntut penghentian operasi perusahaan karena dugaan penyerobotan lahan dan kerusakan lingkungan. Pada Juni 2024, misalnya, ratusan massa pernah menggeruduk kantor bupati dengan tuntutan serupa terkait pengerusakan lahan perkebunan. Kini, di 2025, isu ini semakin rumit dengan dugaan intimidasi dan provokasi dari pihak perusahaan, yang menurut demonstran telah mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah adat dan areal perkebunan.
Dalam aksi kemarin, masyarakat menyampaikan serangkaian tuntutan yang mendalam, mencakup aspek hukum, administratif, dan sosial. Pertama, mereka meminta penjelasan dari Ketua DPRD terkait hasil notulen rapat dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) pada poin 3 huruf g, khususnya mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan tentang perizinan berusaha pemanfaatan hutan oleh PT TPL. Kedua, tuntutan mencakup pencabutan hasil notulen rapat Forkopimda sebelum adanya rapat lanjutan pasca-pertemuan serap aspirasi pada 16 Mei 2025 di desa-desa setempat. Ketiga, masyarakat menuntut pertanggungjawaban Asisten 1 terkait notulen rapat 14 Maret 2024 tentang luas areal konsesi PT TPL seluas 13.265 hektar, beserta penunjukan tapal batas yang jelas.
Baca juga : Mahasiswa dan Pedagang Madina Bersatu: Protes Massal terhadap Kebijakan Daerah yang Dinilai Anti-Rakyat
Lebih lanjut, tuntutan keempat adalah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh DPRD untuk menyelesaikan permasalahan dengan PT TPL, terutama penetapan tapal batas dan tindakan intimidasi terhadap masyarakat. Kelima, mereka meminta jawaban dari Bupati Tapanuli Selatan terkait notulen rapat Forkopimda 26 Agustus 2025, di mana luas areal konsesi PT TPL berubah menjadi 14.496,41 hektar akibat perambahan 1.231,41 hektar, yang bertentangan dengan poin sebelumnya. Keenam dan ketujuh, masyarakat mendesak penyelesaian segera poin 4 dan poin A dari notulen 26 Agustus 2025, yakni ganti rugi atas lahan perkebunan yang telah ditumbang dan dikuasai PT TPL di areal penggunaan lain (APL), dengan korban masyarakat sebagai prioritas.
Tuntutan kedelapan adalah penjelasan dari bupati terkait poin 5 notulen tersebut, mengenai masyarakat pemilik kebun yang telah menanami areal hutan produksi hingga maksimal 2 hektar per kepala keluarga. Kesembilan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Tapal Batas, mereka meminta salinan putusan bupati terhadap tim yang telah menentukan tapal batas di areal konsesi PT TPL. Kesepuluh, Forkopimda diminta menghentikan operasi PT TPL dalam menumbang atau menanami lahan masyarakat sebelum penentuan tapal batas yang melibatkan unsur masyarakat. Kesebelas, pencopotan Camat Angkola Timur karena dianggap tidak berpihak pada masyarakat dan telah menyatakan sikap yang merugikan. Terakhir, keduabelas, pembebasan Bandaharo Harahap yang ditahan di Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan, mengingat telah ada perdamaian pada 1 Juli.
Respon dari kalangan DPRD menunjukkan dukungan yang signifikan terhadap aspirasi masyarakat. Ketua Fraksi Golkar DPRD Tapsel, Andesmar Siregar, menyatakan dukungan penuh untuk pembentukan Pansus guna mengakhiri konflik berkepanjangan ini. Ia menekankan agar pihak perusahaan, pemerintah kabupaten, dan aparat memberikan keterangan dengan hati nurani di hadapan masyarakat. Senada dengan itu, Anggota DPRD dari Fraksi Partai Gerindra, Armen Sanusi Harahap, beserta Eddi Arriyanto Hasibuan dan Nurhayati Pane dari Fraksi Golkar, menyuarakan dukungan tegas. Menurut Armen, klaim perusahaan atas lahan masyarakat sangat mengejutkan karena tidak didukung dokumen resmi atau pilar batas, dan aksi ini mencerminkan keresahan warga akibat klaim sepihak PT TPL.
Demonstrasi berlangsung aman dan terkendali, dikawal langsung oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polres Tapanuli Selatan, tanpa insiden kekerasan. Namun, implikasi akademis dari peristiwa ini layak dicermati: konflik agraria seperti ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga menyoroti kegagalan regulasi nasional dalam melindungi hak masyarakat adat terhadap korporasi multinasional. Penelitian mendalam diperlukan untuk menganalisis dampak jangka panjang terhadap ekosistem lokal dan ekonomi rumah tangga, mengingat sejarah serupa di wilayah ini telah menimbulkan migrasi paksa dan penurunan kesejahteraan. Sementara itu, pemerintah daerah diharapkan segera merespons untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif.
Pewarta : Adi Tanjoeng
