
RI News Portal. Jakarta, 23 Agustus 2025 – Dalam sebuah langkah eskalasi hukum yang menyoroti isu hak atas tanah di tengah proyek infrastruktur energi nasional, ahli waris almarhum Ganeng bin Nisan telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, serta sejumlah pejabat tinggi negara dan eksekutif perusahaan BUMN. Surat tersebut menuntut pembayaran atas sisa lahan seluas 7.000 meter persegi yang diduga telah dimanfaatkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Tawar tanpa kompensasi yang layak. Kasus ini tidak hanya mencerminkan ketegangan antara hak waris pribadi dan kebutuhan energi publik, tetapi juga menguji komitmen pemerintah baru dalam menegakkan keadilan agraria di era transisi energi.
Menurut Muhamad Kadafi, pengacara dari Law Firm Kadafi & Partners yang mewakili ahli waris, surat tersebut dikirimkan pada awal pekan ini dengan tujuan utama untuk “memberitahukan dan meminta keadilan” atas lahan yang terletak di Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lahan tersebut saat ini dikelola oleh PT PLN Nusantara Power, anak usaha PT PLN (Persero), sebagai bagian dari operasional PLTU Muara Tawar—sebuah fasilitas pembangkit listrik kritis yang mendukung pasokan energi untuk wilayah Jabodetabek.

“Dengan adanya surat yang kami kirimkan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri BUMN Erick Thohir, Direksi PT PLN (Persero) dan Direksi PT PLN Nusantara Power bertujuan untuk memberitahukan dan meminta keadilan klien kami atas sisa tanah seluas 7.000 m² yang belum dibayarkan oleh PLTU Muara Tawar,” ujar Kadafi dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (20/8/2025).
Kadafi menjelaskan bahwa upaya penyelesaian secara damai telah dilakukan berulang kali, termasuk pertemuan dengan pihak terkait yang difasilitasi oleh aparat keamanan setempat. Namun, setelah delapan bulan negosiasi, tidak ada kemajuan signifikan. Ia menyebutkan adanya kesepakatan awal di tingkat kelurahan mengenai harga lahan sebesar Rp6.400.000 per meter persegi, yang hingga kini belum terealisasi. “Berbagai upaya persuasif telah kami lakukan untuk mendapatkan hak klien kami tersebut, pertemuan demi pertemuan juga sudah dilakukan. Bahkan terakhir saat kami akan melakukan aksi tutup jalan di lokasi tanah klien kami dilarang oleh Kapolsek Muara Tawar, karena dia akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak-pihak terkait,” tambahnya.
Analisis akademis dari perspektif hukum agraria menunjukkan bahwa kasus semacam ini sering kali terjebak dalam labirin birokrasi, di mana hak atas tanah warisan bertabrakan dengan prioritas pembangunan nasional. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah harus dihormati, termasuk kompensasi yang adil bagi pemilik sah. Namun, dalam konteks proyek strategis nasional seperti PLTU, pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan pembebasan lahan demi kepentingan umum, asal prosedur hukum diikuti. Kasus ini mengingatkan pada preseden serupa, seperti sengketa tanah di sekitar proyek infrastruktur energi di Jawa Barat, di mana keterlambatan pembayaran sering kali memicu konflik sosial.
Jika tidak ada penyelesaian dalam waktu dekat, Kadafi menyatakan kesiapan kliennya untuk mengambil tindakan lebih tegas, termasuk menduduki dan mengambil alih lahan tersebut. “Namun usai pertemuan yang telah berlangsung 8 bulan belum juga menemui titik terang akan hak daripada klien kami, padahal sebelumnya pernah ada perhitungan di kelurahan harga telah disepakati sebesar Rp 6.400.000,- per meter perseginya namun sampai saat ini tidak ada kabarnya,” katanya. “Kami akan tetap nekat untuk menduduki dan mengambil alih tanah tersebut sampai semua tuntutan terpenuhi. Karena sudah cukup lama klien kami bersabar dan hanya diberikan janji-janji yang tak pasti.”
Dalam nada optimis, Kadafi menyampaikan harapannya agar Presiden Prabowo turun tangan langsung. “Untuk itu dengan adanya surat tersebut, kami berharap Pak Presiden Prabowo turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Saya yakin Pak Prabowo merupakan pemimpin yang bijaksana sehingga bisa melihat persoalan ini untuk diselesaikan,” pungkasnya.
PLTU Muara Tawar, yang dioperasikan oleh PT PLN Nusantara Power, merupakan salah satu pembangkit listrik terbesar di Indonesia dengan kapasitas hingga 2.200 MW, memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas pasokan listrik di wilayah metropolitan. Namun, pengembangan infrastruktur semacam ini sering kali diwarnai kontroversi terkait akuisisi lahan, terutama di daerah padat penduduk seperti Bekasi. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa proyek energi nasional telah melibatkan pembebasan ribuan hektar lahan sejak 2010, dengan sebagian kasus berujung pada gugatan hukum akibat ketidaksepakatan nilai ganti rugi.
Dari sudut pandang ekonomi, penundaan penyelesaian klaim seperti ini dapat mengganggu operasional pembangkit dan berpotensi menaikkan biaya energi secara keseluruhan. Sebaliknya, bagi ahli waris, ini adalah isu hak dasar yang memengaruhi mata pencaharian mereka. Pendekatan akademis menyarankan mediasi multipartai, melibatkan lembaga seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk verifikasi kepemilikan dan penilaian independen.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi dari PT PLN, Kementerian ESDM, atau Kementerian BUMN. Tim redaksi telah berupaya menghubungi pihak terkait untuk komentar, dan pembaruan akan disampaikan segera. Kasus ini menjadi ujian awal bagi administrasi Prabowo dalam menangani konflik antara pembangunan dan hak rakyat, di tengah agenda transisi energi hijau yang ambisius.
Pewarta : Miftahkul Ma’na
