
RI News Portal. Bengkulu — Sebuah penemuan tak terduga di perairan Samudra Hindia oleh Sukadi, nelayan asal Pulau Enggano, Bengkulu, telah membuka diskursus baru tentang potensi ekonomi kelautan yang selama ini tersembunyi di balik kesadaran ekologis. Muntahan paus atau ambergris seberat 150 kilogram yang awalnya disangka limbah laut, kini menjadi komoditas bernilai miliaran rupiah.
Pada awal Juli 2025, Sukadi bersama empat rekannya melakukan patroli rutin di perairan sekitar Pulau Enggano. Ketika melihat benda-benda terapung yang menyerupai limbah, mereka berinisiatif membersihkan laut. Tanpa disadari, benda yang mereka angkut ke perahu adalah ambergris—zat langka yang terbentuk dari sistem pencernaan paus sperma (Physeter macrocephalus).
“Saat menemukannya saya bagai mimpi. Karena tahu itu berharga, saya kumpulkan dan masukkan dalam perahu,” ujar Sukadi.
Ambergris yang ditemukan memiliki warna putih kekuningan dan tekstur menyerupai lilin. Bentuknya bervariasi, dari bulat kecil hingga menyerupai buah. Menurut Sukadi, zat tersebut terapung mengikuti arus laut dan kini masih tersisa sekitar 200 kilogram di kediamannya.

Ambergris dikenal sebagai bahan dasar parfum kelas dunia karena kemampuannya memperkuat dan mempertahankan aroma. Di pasar internasional, harga ambergris bisa mencapai puluhan juta rupiah per kilogram. Sukadi sendiri telah menerima tawaran Rp3,3 miliar untuk 150 kilogram ambergris, atau sekitar Rp22 juta per kilogram.
Namun, ia belum menjual seluruhnya. “Kalau ada yang nawar lebih mahal akan saya lepas. Saya ingin di atas Rp22 juta per kg, minimal Rp30 juta per kilo lah,” ungkapnya.
Penemuan ini menimbulkan pertanyaan penting terkait regulasi dan legalitas perdagangan ambergris di Indonesia. Di beberapa negara, seperti Australia dan Amerika Serikat, perdagangan ambergris dilarang karena keterkaitannya dengan spesies paus yang dilindungi. Di Indonesia, regulasi terkait ambergris masih minim dan belum terintegrasi dalam kerangka konservasi laut secara komprehensif.
Baca juga : Ngawi Menyambut Program Makan Bergizi Gratis: Dapur Mandiri Pertama Beroperasi di Desa Sumengko
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) perlu segera merumuskan kebijakan yang menyeimbangkan antara potensi ekonomi dan perlindungan spesies laut. Penemuan Sukadi bisa menjadi momentum untuk menyusun regulasi yang jelas, adil, dan berkelanjutan.
Menariknya, penemuan ini berawal dari inisiatif Sukadi untuk membersihkan laut dari limbah. Tindakan tersebut mencerminkan kesadaran ekologis yang patut diapresiasi dan dijadikan teladan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, penemuan ambergris ini menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Penemuan ambergris oleh Sukadi bukan sekadar kisah keberuntungan, melainkan cerminan dari potensi besar yang dimiliki ekosistem laut Indonesia. Dengan regulasi yang tepat dan pendekatan berbasis konservasi, penemuan ini dapat menjadi titik tolak bagi pengembangan ekonomi biru yang inklusif dan berkelanjutan.
Pewarta : Indra Saputra
