
RI News Portal. Wonogiri, Jumat (8/8/2025) — Di tengah kemegahan gedung Sekolah Dasar Negeri 1 Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Wonogiri, tersimpan kisah perjuangan seorang pelajar pejuang yang kini nyaris terlupakan: Surachman, Tentara Pelajar (TP) yang gugur dalam Agresi Militer Belanda II. Ia bukan hanya pejuang kemerdekaan, tetapi juga pendiri sekolah yang menjadi pusat pendidikan di desa tersebut.
Surachman dikenal sebagai anggota aktif dalam Sturm Abteilung (SA) dan Corps Sturm Abteilung (CSA) Solo–Boyolali, dua satuan semi-militer yang berisi pelajar pejuang pada masa revolusi. Ia turut bertempur melawan pasukan Belanda dalam Agresi Militer II dan gugur tertembak di Dusun Cobor, Desa Sumberejo, Kecamatan Jatisrono.
Sebelum gugur, Surachman mendirikan SD Tanggulangin sebagai bentuk komitmennya terhadap pendidikan pasca-kemerdekaan. Kini, sekolah tersebut telah direnovasi oleh pemerintah menjadi gedung megah yang menyandang simbol SA/CSA sebagai penghormatan terhadap sejarah perjuangan pelajar.

Meski jasanya besar, kondisi monumen dan makam Surachman memprihatinkan. Prasasti di pinggir pesawahan Dusun Cobor, tempat ia gugur, kini lusuh dan sulit terbaca. Batu nisan makamnya di Dusun Tenggar, Desa Jatirejo, Kecamatan Jatiroto, bahkan terguling akibat tanah terkikis hujan.
Marto, warga Dusun Tenggar, menyampaikan keprihatinannya kepada RI NEWS, “Saya prihatin melihat keberadaan monumen dan batu nisan makam pahlawan pendidikan Surachman yang tidak ada perawatan atau perhatian dari pihak terkait.”
Senada dengan itu, Suyatmo, warga setempat, menambahkan, “Padahal pemusatan tempat belajar mengajar berada di Desa Tanggulangin yang kini memiliki gedung megah. Tapi makam pendirinya justru dibiarkan begitu saja.”
Kisah Surachman mencerminkan kompleksitas sejarah lokal yang sering kali terpinggirkan dalam narasi nasional. Ia adalah simbol dari generasi pelajar yang tidak hanya mengangkat senjata, tetapi juga membangun fondasi pendidikan di masa transisi kemerdekaan.
Baca juga :
Minimnya perhatian terhadap monumen dan makamnya menunjukkan lemahnya integrasi antara penghormatan sejarah dan kebijakan pendidikan. Dinas Pendidikan dan instansi terkait perlu melakukan restorasi fisik dan revitalisasi narasi sejarah agar generasi muda mengenal figur seperti Surachman bukan sekadar nama, tetapi sebagai inspirasi perjuangan.
Makam dan monumen Surachman bukan hanya situs sejarah, tetapi juga simbol moral tentang pentingnya menghargai jasa pelajar pejuang. Pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, dan komunitas lokal diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk merawat dan mengabadikan warisan ini.
Sebagaimana disampaikan Marto dengan lirih, “Tolong sampaikan pada pihak terkait, kasihan ini makam Pahlawan Tentara Pelajar.”
Pewarta : Nandar Suyadi
