
RI News Portal. Aceh Utara – Aceh Utara kembali menjadi sorotan publik setelah Kepolisian Resor (Polres) Aceh Utara berhasil meringkus enam individu yang diduga menyebarkan ajaran Millah Abraham—suatu aliran yang dinilai menyimpang dari prinsip dasar Ahlussunnah Waljama’ah. Penangkapan ini menjadi bagian dari upaya penegakan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.
Keenam pelaku yang diamankan terdiri dari:
- AA (48) dan RB (39), warga Sumatera Utara
- HA (60) dan ME (27), warga Bireun, Aceh
- NZ (53), warga Aceh Utara
- ES (38), warga Jakarta Barat

Kapolres Aceh Utara, AKBP Trie Aprianto, dalam konferensi pers yang digelar Kamis (7/8/2025), menjelaskan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari laporan warga pada 25 Juli 2025. Warga Lhoksukon melaporkan adanya aktivitas pengajian yang mencurigakan di salah satu masjid, yang kemudian diketahui mengajarkan doktrin Millah Abraham.
Setelah dilakukan penyelidikan, aparat berhasil mengamankan tiga tersangka tambahan di wilayah Pidie dan Bireun. Berdasarkan pengakuan para pelaku, aktivitas penyebaran ajaran tersebut telah berlangsung sejak tahun 2012 dan memiliki jaringan anggota yang tersebar di berbagai wilayah Aceh.
Menurut AKP Boestani, Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, ajaran Millah Abraham memiliki sejumlah penyimpangan teologis yang signifikan, antara lain:
- Mengklaim adanya mesias baru setelah Nabi Muhammad SAW
- Menolak mukjizat Nabi Isa dan Nabi Musa
- Tidak mewajibkan salat lima waktu
- Tidak mengakui keabsahan ayat-ayat Al-Qur’an
Dalam operasi penangkapan, polisi turut mengamankan sejumlah barang bukti berupa:
- Dua lembar kertas berisi potongan ayat
- Satu unit laptop
- 25 buku ajaran Millah Abraham
Baca juga : Stabilitas Listrik Kembali di Dusun Tabak Jaya: Warga Bersyukur atas Respons Cepat PLN dan Dukungan LSM
Para tersangka dijerat dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Jo Pasal 7 ayat (1)–(4) Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015. Ancaman hukuman yang dikenakan meliputi:
- Penjara maksimal 5 tahun
- Hukuman cambuk hingga 60 kali
Bupati Aceh Utara, H. Ismail A. Jalil (Ayah Wa), dalam kesempatan yang sama, mengimbau masyarakat untuk menolak segala bentuk ajaran yang bertentangan dengan Ahlussunnah Waljama’ah. Ia menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap informasi keagamaan yang tidak jelas sumbernya dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat implementasi Qanun Perlindungan Aqidah.
“Saya berharap kepada seluruh masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menerima informasi baru terkait akidah, pemahaman dan keagamaan yang menyimpang,” ujar Ayah Wa.
Kasus ini mencerminkan tantangan serius dalam menjaga kemurnian akidah di tengah arus informasi dan mobilitas sosial yang tinggi. Penegakan Qanun sebagai instrumen hukum lokal menunjukkan peran penting regulasi berbasis nilai-nilai keislaman dalam menjaga stabilitas sosial dan keagamaan di Aceh. Namun, pendekatan represif perlu diimbangi dengan edukasi publik dan penguatan literasi keagamaan agar masyarakat dapat mengenali dan menolak ajaran menyimpang secara mandiri.
Pewarta : Jaulim Saran
